Akad Pembulat Tekad

Kalender di atas bufet televisi mencuri perhatian saya ketika berkunjung ke rumah kerabat –paman suami- di daerah Bekasi, medio September lalu. Hari itu kami menghadiri arisan keluarga.

Hal istimewa dari kalender itu adalah sebuah slogan yang tercetak di sudut kanan. “Mulailah hal yang baik di tempat yang baik,” begitu tulisannya. Kalender itu diterbitkan sebuah bank syariah berskala nasional.
Penasaran, saya berdiri dan membalik-balik halamannya. Isinya beragam. Ada produk untuk pembiayaan rumah, pembiayaan pembelian kendaraan, tabungan pendidikan, dan tabungan haji. Kurang lebih sama dengan produk perbankan yang ditawarkan bank konvensional.
Saya jadi teringat, suami pernah bercerita bahwa pamannya itu baru saja membeli mobil baru dengan pembiayaan dari bank. Waktu itu saya sempat heran dengan keterangan itu lantaran setahu saya, kerabat kami ini anti dengan produk bank. Mereka keluarga yang getol mengkritik sewaktu suami saya masih bekerja di salah satu bank konvensional. Sekarang sudah tidak lagi.
Setelah melihat kalender itu saya bisa menduga. Sepertinya mobil paman itu dibeli dengan pembiayaan dari bank syariah. Namun, wasangka itu saya endapkan lantaran suasana di rumah itu sedang tidak pas untuk berdiskusi hal serius. Kalender itu lantas saya taruh di tempat semula dan segera berkumpul dengan keluarga yang lain.
Dalam perjalanan pulang, saya kembali teringat dengan kalender dan mobil baru paman. Saya pun mengkonfirmasi dua hal itu pada suami.
“Jadi mobil baru paman itu dikredit dari bank syariah,” ujar saya.
“Ya dengan pembiayaan dari bank syariah. Tapi bukan kredit,” ujar dia sederhana.
Saya jadi penasaran. Bagaimana bisa dapat pembiayaan tetapi tidak lewat sistem kredit. Tentu saja kredit yang saya maksud adalah angsuran bulanan dengan saldo minimal plus bunga lazimnya praktek pinjam-meminjam di perbankan.
“Kok bisa? Tetap ada angsuran bulanan kan?” tanya saya lagi.
Soal praktek keuangan syariah ini sebenarnya sudah beberapa kali kami bahas. Bahkan saya pernah mendapat penjelasan langsung dari seorang teman yang bekerja di salah satu bank syariah. Namun, saya tak pernah seantusias hari itu.

Suami saya pun kemudian memberi penjelasan ringkas. “Sederhana saja. Keuangan syariah itu ada jual beli, ada bagi hasil,” ujarnya.

Keterangan itu rupanya berhasil menambah perspektif saya tentang praktik keuangan syariah. Termasuk membuat saya lebih mengerti kenapa paman suami –yang anti bank konvensional itu– mau memanfaatkan fasilitas pembiayaan kendaraan dari bank syariah.

Akad. Poin inilah yang menjadi ciri utama sekaligus pembeda antara syariah dan perbankan konvensional. Pada sistem keuangan syariah, setiap transaksi ditandai dengan adanya akad. Akad merupakan praktek yang lazim dilakukan dalam transkasi jual beli konvensional; ada pembeli, penjual, dan barang/jasa yang diperdagangkan.
Akad tentu saja tak terbatas pada legalitas transaksi semata. Jauh dari itu, akad bermakna kerelaan dari kedua pihak untuk melaksanakan kesepakatan yang dibuat bersama antar dua pihak; suka sama suka, tahu sama tahu. Dalam akad itu pula terdapat prinsip akuntabilitas dan transparansi, artinya kedua pihak saling menyetujui dan mengetahui penggunaan uang yang akan disimpan atau pembiayaan yang diberikan.

Dengan lebih sederhana lagi, suami saya menjelaskan, pada dasarnya prinsip keuangan syariah itu mirip dengan praktek “induk semang” yang biasa diterapkan para pedagang Minangkabau.

Saya, yang lahir dan bersekolah di Ranah Minang, langsung teringat dengan model usaha yang biasa dijalankan di sana. Para induk semang atau pemodal akan memberikan modal pada anak semang atau mitra usaha untuk menjalankan bisnis dengan cara bagi hasil. Tata cara pembagian pun ditentukan sejak awal.

Perjalanan kami hari itu benar-benar seperti perjalan syariah bagi saya. Anggap saja seperti mata kuliah empat sks yang dipadatkan dalam beberapa jam saja.
Di rumah, saya puaskan rasa ingin tahu dengan berselancar ke berbagai situs. Saya dapatkan penjelasan yang lebih jauh lagi tentang praktek keuangan syariah ini. Dan benar saja, hanya ada dua prinsip dasar; yaitu akad jual beli dan bagi hasil. Tiga jenis akad yang sering dipakai adalah mudarabah, wadiah, dan musyarakah.
Wadiah merupakan titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain. Apabila uang yang dititipkan tidak dapat dimanfaatkan oleh bank, hal itu disebut Wadiah Yad Alamanah. Produk perbankannya bisa berupa safe deposit box. Sedangkan bila uang yang dititipkan bisa digunakan bank dengan seizin penyimpan disebut Wadiah Yad Aldhamanah. Tabungan dan giro di perbankan syariah biasanya menggunakan jenis ini.
Prinsip bagi hasil biasanya baru dipakai pada model pembiayaan seperti pembiayaan pembelian kendaraan seperti yang dimanfaatkan paman suami saya. Ada juga pembiayaan perumahan, dan modal usaha. Bagi hasil yang sering dipakai adalah Mudharabah yaitu bank sebagai penyedia modal dan dan nasabah sebagai pengguna atau pengelola.
Bentuk kerjasama bagi hasil pada pembiayaan ini tentu saja punya aturan yang disepakati bersama. Hal penting adalah soal penghitungan asumsi kenaikan biaya sesuai tahun lamanya nasabah menggunakan manfaat. Penghitungan itu, sekali lagi, dibahas bersama dan disetujui bersama. Dengan begitu setiap bulan nasabah akan menyetor dengan nominal yang telah disepakati bersama sejak awal tanpa ada biaya siluman.
Sedangkan Musyarakah adalah akad kerja sama antara bank dan nasabah di mana kedua pihak sama-sama berkontribusi sebagai penyandang dana. Dengan begitu pengelolaan dan resiko usaha ditanggung bersama.  Jenis kesepakatan ini biasanya diterapkan pada pembiayaan proyek.
Saya senang sekali mengetahui kenyataan bahwa prinsip keuangan syariah itu ternyata tak serumit yang selama ini saya duga. Sebelumnya saya sering menilai persoalan perbankan syariah ini hanya berkutat soal halal dan haram. Satu-satunya alasan kenapa harus pindah menggunakan transaksi di perbankan syariah hanya untuk menghindari riba. Ternyata saya keliru besar.
Justru perbankan syariah dan keuangan syariah lain seperti gadai dan asuransi syariah memberi keleluasaan dan menjanjikan akuntabilitas dalam penyimpanan dan pengelolaan uang nasabah. ***

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *