Opini: Ira Guslina Sufa
***
Pernahkah kita merasa kesal karena tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dikerjakan pemerintah di sekitar kita? Misalnya, tiba-tiba jalan di depan rumah ditutup untuk proyek yang tak jelas, atau anggaran kegiatan di kelurahan diumumkan tanpa rincian yang bisa dipahami. Padahal, kita tahu bahwa semua itu menggunakan uang rakyat—uang kita.
Rasa penasaran itu, yang sering muncul di tengah masyarakat, adalah tanda bahwa publik semakin sadar akan haknya untuk tahu. Hak untuk tahu inilah yang menjadi inti dari keterbukaan informasi publik. Bukan sekadar akses terhadap data atau dokumen, tetapi soal bagaimana pemerintah menghormati warganya dengan memberikan kejelasan, transparansi, dan ruang untuk ikut terlibat.
Di era yang serba cepat seperti sekarang, keterbukaan informasi bukan lagi pilihan—ia kebutuhan. Pemerintah yang tertutup akan mudah kehilangan kepercayaan, sementara masyarakat yang tidak mendapat informasi akan sulit berpartisipasi. Padahal, kepercayaan dan partisipasi adalah dua bahan utama untuk membangun pemerintahan yang sehat.
Sejak Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik diberlakukan, arah kebijakan negara sudah sangat jelas: informasi publik adalah hak setiap warga negara. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, wajib menyediakan dan membuka akses informasi yang berkaitan dengan kebijakan, program, hingga penggunaan anggaran. Namun, dalam praktiknya, kita masih sering menemui dinding yang membatasi. Ada instansi yang masih enggan membuka data dengan alasan “belum siap”, ada pula pejabat yang menganggap informasi sebagai milik pribadi lembaganya.
Padahal, keterbukaan bukan sekadar memublikasikan laporan di situs web. Ia adalah budaya baru dalam tata kelola pemerintahan — budaya yang menempatkan warga sebagai mitra sejajar dalam pembangunan.
Mari kita lihat Jakarta. Kota ini sedang bersiap menjalani babak baru dalam sejarahnya: tak lagi menjadi ibu kota negara. Perubahan besar ini akan membawa konsekuensi yang luas, bukan hanya secara administratif, tetapi juga sosial dan ekonomi. Di tengah proses transformasi ini, keterbukaan informasi menjadi kunci utama untuk menjaga agar arah perubahan tetap berpihak pada warga.
Tanpa transparansi, kebijakan mudah kehilangan arah. Namun dengan keterbukaan, masyarakat bisa ikut memberi masukan, mengawasi proses, bahkan bersama-sama mencari solusi. Bayangkan jika setiap warga Jakarta bisa dengan mudah mengetahui rencana tata ruang, anggaran kelurahan, atau program penataan kampung. Bukan hanya pemerintah yang akan lebih dipercaya, tapi warga juga akan lebih merasa memiliki kotanya.
Saya percaya, masyarakat yang tahu akan lebih peduli. Ketika warga tahu bagaimana kebijakan diambil dan untuk apa uang mereka digunakan, partisipasi akan tumbuh dengan sendirinya. Orang akan lebih berani menyuarakan pendapat, lebih aktif mengawasi, dan lebih siap terlibat dalam proses pembangunan. Dari situlah kepercayaan muncul—dan dari kepercayaan, lahir kolaborasi.
Keterbukaan informasi juga memiliki makna sosial yang dalam. Ia membangun rasa adil. Karena informasi yang terbuka mencegah kesenjangan antara mereka yang tahu dan yang tidak tahu. Dalam konteks Jakarta yang sangat majemuk, akses informasi yang merata bisa menjadi jembatan untuk memperkuat kebersamaan antarwarga, serta menumbuhkan rasa bahwa setiap orang punya tempat dan suara dalam menentukan arah kota ini.
Saya meyakini bahwa kerja keterbukaan informasi bukan semata-mata urusan administratif. Ini adalah kerja kemanusiaan — kerja untuk memastikan setiap orang punya kesempatan yang sama untuk tahu, untuk terlibat, dan untuk dipercaya.
Keterbukaan bukan soal seberapa banyak dokumen yang dipublikasikan, tapi seberapa besar keinginan kita untuk membangun kepercayaan. Karena pada akhirnya, transparansi bukan tujuan akhir, melainkan jalan menuju pemerintahan yang lebih manusiawi—pemerintahan yang mau mendengar, mau menjelaskan, dan mau berjalan bersama rakyatnya.
Kita tidak bisa bicara tentang demokrasi lokal tanpa bicara keterbukaan. Karena partisipasi tidak mungkin tumbuh dalam ruang yang gelap. Ia hanya tumbuh di tempat yang terang, di mana setiap orang diberi kesempatan untuk tahu, memahami, dan ikut menentukan arah perubahan.