Terpikat Pesona Morotai, Mutiara di Utara Halmahera
|
“Mba Ira kapan main ke Morotai lagi?”
Pesan dari messenger facebook suatu siang akhir tahun lalu menyentak memori saya. Dikirim dari seseorang nun jauh di timur Indonesia.
Pesan itu dikirim oleh Muhlis Eso, lelaki asli Morotai yang kini menjadi sahabat dan keluarga baru saya di tanah Maluku. Kami mulanya bertemu lewat perjumpaan tak terencana. Meski begitu, komunikasi yang intens dengan Bang Muhlis baik selama saya berada di Morotai ataupun setelah kembali lagi ke Jakarta membuat saya merasa sudah seperti bersaudara dengannya.
Kapan ke Morotai lagi? Hmmm, saya memang bertekad ingin kembali lagi ke sana. Negeri dengan seribu satu pesona. Morotai. Menempuh perjalanan lebih dari 2.500 kilometer dari Jakarta pada Agustus lima tahun lalu tak membuat ingatan saya akan negeri ini hapus. Pengalaman tiga hari berpetualang di pulau eksotis itu terus menggoda memori hingga kini.
***
Morotai. Mungkin tak banyak yang mengenal pulau kecil ini. Dibanding destinasi wisata lain di Indonesia Timur seperti Raja Ampat, dan Bunaken, Morotai memang kalah pamor. Namun tahukah temans, bahwa ternyata Morotai menyimpan banyak cerita yang membuat ia menjadi istimewa. Sebuah mutiara di utara Halmahera.
Morotai adalah sebuah pulau sekaligus kabupaten definitif yang terletak di kepulauan Halmahera, Kepulauan Maluku. Sebagai bagian dari Provinsi Maluku Utara, ia merupakan salah satu pulau paling utara di Indonesia.
Ketika menjejakkan kaki di Morotai untuk pertama kali, saya sama sekali buta akan medan. Sejumlah informasi yang terkumpul dari hasil berselancar di dunia maya tak cukup menjawab rasa penasaran akan pulau bersejarah itu. Satu hal yang saya yakini, Morotai pasti menyimpan sesuatu yang sangat bernilai sehingga dulu dipilih menjadi pusat pangkalan militer sekutu saat perang dunia kedua.
Yap. Morotai dulu memang pernah menjadi basis tentara Sekutu saat perang dunia II. Dari pulau ini, Jenderal berkebangsaan Amerika Serikat, Douglas Mc Arthur menyusun strategi lompat katak menguasai satu demi satu pulau yang dikuasai Jepang di kawasan Pasifik khususnya Kalimantan dan Filipina. Di Morotai pula, tentara sekutu memusatkan kekuatan untuk memukul mundur tentara Jepang.
Ketika masa pembebasan Irian Barat, Tentara Nasional Indonesia juga menjadikan Morotai sebagai basis pertahanan. Dari sinilah didengungkan semangat Tri Komando Rakyat (trikora) yang berujung pada bergabungnya Irian Barat ke dalam NKRI. Jejak perjuangan Trikora ini kini bisa dijumpai di Museum Trikora yang terletak di Daroeba, Ibu Kota Morotai.
Sesampai di Morotai, rasa penasaran saya mulai terjawab. Seorang kawan mempertemukan saya dengan seorang penduduk setempat yang dianggap tahu banyak tentang seluk belum Morotai. Dialah Bang Muhlis Eso yang kemudian menjadi kawan saya berpetualang selama berada di pulau bersejarah itu.
Perjalanan kami dimulai dari Bandar Udara Leo Watimenna. Bandara ini dulu bernama Pitu Street. Pitu artinya tujuh yang merujuk tujuh landasan pacu yang dulu ada di sana. Pitu street dahulunya merupakan landasan pacu pesawat tempur milik sekutu.
Dari bandara kami menyusur setiap jalur pacu. Tak jauh dari landasan, berlawanan arah dengan sisi laut terdapat Sumur Air Kaca. Sumur ini terletak dua kilometer dari bandara. Selain menjadi tempat pemandian, sumur ini dulunya juga menjadi tempat persembunyian Jenderal Douglas Mc Arthur.
Menurut Bang Muhlis, pada beberapa goa di areal pemandian masih tersimpan sisa perang dunia seperti selongsong peluru, bayonet, dan pelontar roket. Sayang, kami tak masuk ke goa lantaran sudah sore dan mau hujan. Situs perang dunia juga tersebar di beberapa titik seperti situs tank amphibi, dan bekas menara pemancar.
Tak jauh dari Pitu Street, tepatnya di Desa Pandanga terdapat situs Army Dock dan Navy Base. Situs ini merupakan bekas peninggalan Perang Dunia II yang merupakan markas militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut sekutu dalam perang Pasifik di Morotai. Dahulu, di tempat ini dibangun instalasi militer infantri, zeni tempur dan rumah sakit serta lima dermaga laut. Di Army Dock, kita bisa menemui puing-puing bekas pelabuhan militer di lokasi ini.
Selepas menyusur jejak sejarah di sekitar Bandar udara, Bang Muhlis mengajak saya berkeliling kampung tua di sana. Sebelumnya saya memang meminta Bang Muhlis membawa saya ke kampung warga, Saya ingin melihat aktivitas masyarakat di sana.
“Mari, akan saya antar Mba Ira ke Desa Joubela. Di sana masih banyak orang tua, jadi bisa menggali sejarah dari mereka.”
Matahari merangkak naik saat saya menginjakkan kaki di Desa Joubela. Laut biru dengan hamparan pasir putih menyambut kedatangan kami. Dari gerbang utama desa, beberapa warga terlihat sibuk beraktivitas. Ada yang membereskan jaring dan juga merapikan halaman.
Di salah satu rumah saya melihat ibu-ibu tengah membuat kerajinan anyaman pandan. Ada yang berbentuk keranjang dan adapula hiasan dinding.
“Ini untuk oleh-oleh kalau ada wisatawan yang berkunjung ke Morotai,” ujar salah seorang ibu.
Di Joubela kami bertemu dengan tetua kampung. Namanya Pak Madong Muhammad Yaman. Ketika ditemui, Pak Madong mengisahkan dulu saat perang dunia II Morotai ramai dengan kapal perang dan pesawat tempur. Ia pun berkisah mengenai pengalaman hidupnya saat kecil dan melihat aktivitas tentara Sekutu di Morotai.
Pak Madong juga menyimpan beberapa sisa peninggalan perang di rumahnya. Juga ada beberapa peralatan makan seperti piring dan sendok peninggalan tentara sekutu. Menjelajah Morotai dan mendengarkan langsung cerita dari saksi hidup mengenai keberadaan tentara sekutu membuat perjalanan saya waktu itu menjadi sangat istimewa.
aktivitas bertani kopra masyarakat morotai
Berpetualang ke Bukit Nakamura Hingga Pulau Dodola
Puas menyusur jejak sejarah keberadaan tentara Sekutu di Morotai, hari kedua, Bang Muhlis mengajak saya dan rombongan menuju Bukit 40 (Hill 40) yang juga dikenal sebagai Bukit Nakamura. Butuh waktu sekitar 3 jam untuk bisa mencapai Bukit 40 dari Daroeba.
Menurut cerita dari para tetua di Morotai, Bukit 40 merupakan tempat berlangsungnya pertempuran besar-besaran antara pasukan Sekutu dan Jepang di kawasan Pasifik. Perang besar di Bukit 40 ini berujung penyerahan kekuasaan tentara Jepang kepada Sekutu pada September 1945.
Perjalanan kami ke puncak bukit 40 saat itu penuh tantangan. Hujan lebat yang terjadi malam sebelumnya membuat jalanan tanah menjadi licin. Sebelum sampai di tujuan akhir, kami harus memarkirkan kendaraan dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju puncak hampir sekitar 1 jam.
Tapi rasa penat kami terbayar. Dari puncak bukit setinggi sekitar 500 meter di atas permukaan laut, saya dan rombongan bisa menyaksikan keindahan alam pulau Morotai bagian selatan. Selat Morotai juga terlihat dengan jelas dari sana. Menurut Bang Muhlis, inilah yang membuat Bukit 40 dipilih menjadi pusat serangan tentara Sekutu karena bisa memantau kekuatan armada laut Jepang dari kejauhan.
Di puncak Bukit 40 terdapat sebuah Gua yang kemudian menjadi ternama. Gua ini diberi nama Gua Nakamura karena menjadi tempat persembunyian salah seorang tentara Jepang, Teruo Nakamura. Teruo Nakamura adalah satu-satunya tentara Jepang yang selamat dari perang dan ditemukan pada 1974, 30 tahun setelah perang Dunia kedua berakhir.
Sejak Jepang bertekuk lutut pada Sekutu ia bersembunyi di gua dan hidup di hutan. Nakamura tidak berani keluar dan menampakkan diri ke pemukiman karena mengira tentara Sekutu masih ada. Ia akhirnya dibawa ke luar hutan setelah ditemukan tentara Indonesia.
Tak hanya bersejarah, goa tempat persembunyian Nakamura juga indah. Di sana juga terdapat air terjun. Di kawasan Air terjun ini saya juga bisa melihat beberapa sisa peninggalan tentara Jepang. Ada guratan di batu yang menjadi kode selama perang.
Selesai beristirahat dan melihat-lihat di puncak bukit, kami turun lagi ke bawah. Sampai di Desa yang berada di kaki bukit, Bang Muhlis membawa kami singgah di sekolah Nakamura. Sekolah itu dibangun dari bantuan donatur, konon katanya berasal dari Jepang. Sekolah itu dikenal sebagai sekolah Nakamura, untuk mengenang kisah persembunyinan Nakamura di bukit 40.
Hal lain yang membuat saya tak bisa melupakan Morotai adalah kearifan dan inisiatif masyarakat lokal untuk menyimpan sisa perang dunia II. Secara swadaya mereka membangun museum mini yang bertempat di rumah Muhlis Eso, sahabat perjalanan saya waktu itu.
Museum swadaya ini dibangun atas inisiatif Bang Muhlis dan beberapa teman. Mereka mengumpulkan sisa-sisa peninggalan dunia secara mandiri. Temuan itulah yang kemudian dikumpul di rumah Bang Muhlis. Mulanya hanya berupa gubug kecil.
Di dalam rumah terkumpul doktet, peluru, piring dan peralatan makan, sisa senjata, potongan peralatan tempur. Juga da samurai dan beberapa peninggalan tentara Jepang. Saat ini museum swadaya yang lebih permanen sudah dibangun. Berada di museum swadaya milik masyarakat ini, membawa ingatan saya akan besarnya peran Morotai saat perang dunia berkecamuk.
Tak hanya wisata sejarah, berkunjung ke Morotai juga membuat saya terpikat dengan keindahan alamnya. Berkunjung ke Morotai tak akan lengkap sebelum berlabuh di Pulau Dodola. Pulau ini terletak sekitar 5 mil dari Kota Daruba, ibu kota Kabupaten Morotai.
Dalam perjalanan menuju Dodola, dari atas speedboat saya bisa menikmati pemandangan bawah laut yang eksotis. Gerombolan terumbu karang, dihiasi hilir mudik aneka ikan hias. Ikan-ikan aneka warna melintas di depan mata. Keindahan bawah laut ini bisa dinikmati dengan mata telanjang dari permukaan.
Selain suguhan pemandangan bawah laut, pulau ini juga dihiasi hamparan pasir putih yang indah. Ada dua jenis pasir putih di sini. Pasir yang lebih halus ada di bagian pantai yang menghadap Pulau Halmahera. Sedang pantai yang menghadap Pulau Morotai sedikit lebih kasar.
Untuk sampai ke pulau ini, dari Daruba tinggal menyewa speed boat yang parkir di Pelabuhan Haji Imam Lastori. Perjalanana 20 menit ke Pulau Dodola menjadi tak berasa karena saya tak henti memandangi pulau yang tersebar di sepanjang perjalanan. Burung-burung laut sesekali akan melintas menemani perjalanan singkat itu.
Sampai di Pulau Dodola, begitu turun dari speed boat, saya segera menghambur ke pantai. Di sana ada dua pulau yang terhubung dengan pasir putih, Dodola Besar dan Dodola Kecil. Saat air surut, pulau dodola kecil bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Saya pun menyusur koridor pasir putih itu sambil memilih karang yang terdampar.
Karang di sini tersebar di sepanjang bibir pantai, baik di Dodola kecil maupun Dodola besar. Jenis karang yang lebih beragam terdapat di pantai yang menghadap ke Pulau Halmahera. Di sini, pantainya lebih landai sehingga kita bisa berjalan hingga hampir 3 meter ke arah laut dari bibir pantai.
Morotai I Shall Return
Beberapa hari berkeliling di Morotai membuat saya tersadar, inilah mungkin yang membuat Jenderal Douglas Mc Arthur yang tersohor selama Perang Dunia II itu berjanji akan kembali lagi ke Morotai setelah masa perang berakhir. “Morotai I Shall Return,” begitu janji dia waktu itu. Janji yang sama yang kemudian saya ulang lima tahun lalu.
Namun menepati janji ini ternyata tidak mudah. Rencana kembali ke Morotai hingga kini masih sebatas mimpi. Meski begitu saya yakin suatu saat bisa menjejakkan kaki lagi di sana. Apalagi sekarang akomodasi ke Morotai lebih banyak dan mudah diakses.
Untuk sampai ke Morotai, dari Jakarta kita harus menempuh perjalanan udara ke Ternate. Sekarang penerbangan ke Ternate sudah ada setiap hari. Terdapat beberapa alternatif maskapai yang bisa dipilih. Bila ingin menikmati perjalanan dengan lebih nyaman kita bisa memesan tiket pesawat garuda Indonesia.
Setelah sampai di Ternate, perjalanan bisa dilanjutkan dengan jalur udara atau jalur darat. Bila ingin melanjutkan lewat jalur udara, dari Ternate bisa naik pesawat kecil ke Daruba, Ibukota Morotai. Di sini kita bisa memesan tiket pesawat untuk penerbangan Ternate-Daroeba.
Lima tahun lalu, saat saya ke sana, mencari tiket dari ternate menuju Daroeba cukup sulit. Biasanya beli di tempat. Tapi sekarang, Morotai menjadi lebih mudah ditempuh. Pemesanan tiket pesawat dari Ternate ke Pulau Morotai bisa dilakukan secara online.
Bagaimana mendapatkan tiket yang murah dan mudah?
Penerbangan yang murah. Yess.. Ini sudah pasti menjadi pertimbangan penting saat ingin berwisata ke Morotai. Hemat tiket akan memangkas anggaran untuk transportasi. Biasanya untuk mendapatkan tiket termurah, saya harus bolak-balik membuka beberapa situs Online Travel Agent penyedia tiket pesawat. Akibatnya saya jadi perlu waktu lebih untuk bolak balik ceki sana-sini.
Tapi itu cerita lama. Sekarang tak ada lagi cerita mondar-mandir ke beberapa situs Online Travel Agent A, B, dan C. Cukup instal satu aplikasi yang akan membantu kita mencarikan harga tiket dan akomodasi termurah.
Adalah Skyscanner, situs pembanding dan penyedia jasa beli tiket dan akomodasi yang bisa membuat mimpi menjejakkan kaki di Morotai menjadi lebih mudah. Di Skyscanner, saya bisa menemukan tiket pesawat untuk rute Jakarta- Ternate-Pulau Morotai dengan mudah. Jadi tidak perlu dag-dig apakah nanti akan terdampar atau harus menempuh perjalanan darat dan laut menuju Dareoba.
Tak hanya tiket pesawat. Di Skyscanner saya juga bisa menemukan akomodasi dan transportasi yang bisa dipilih selama berada di Morotai. Bayangkan, datang jauh dari Jakarta, tinggal pesan dan semuanya tersedia.
Tidak perlu khawatir terlunta-lunta karena tak menemukan penginapan. Atau harus berpanas-panasan naik becak berkeliling kota. Yap. Lima tahun lalu, saya sulit menemukan informasi mengenai persewaan mobil di Morotai. Walhasil, sebelum bertemu dengan Bang Muhlis saya terpaksa keliling dengan becak.
Memang menjelajah kota kecil dengan becak ada keasyikannya. Tapi bayangkan bila harus berkeliling di bawah matahari yang menyengat. Apalagi saat itu jasa persewaan ojek tidak mudah dijumpai.
“Skyscanner hadir dengan harga jujur. Memberi kemudahan dan menawarkan harga terbaik. Lebih mudah karena ada notifikasi harga.”
Kehadiran Skyscannner menjadi teman perjalanan yang pas untuk berkeliling Indonesia. Menjelajah nusantara dengan nyaman dan aman. Apalagi harga yang tertera di Skyscannner adalah harga jujur. Dan kita bisa menyesuaikan dengan budget karena selalu ada harga terbaik yang disediakan.
Duh, Morotai. Bersiaplah. Tak lama lagi saya akan tiba. 🙂
🙂
***
Disclaimer :
Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog yang diselenggarakan oleh ID Corners dan Skyscanner.
Ntah kapan ini aku traveling ke bagian timur indonesia. Kayaknya sih, daerah timur sana, memang bgs semua ya mba.. Pulaunya, pantainya, bawah lautnya.. Sejarahnya juga banyak. So far, baru sebatas bucketlist doang :D. Belum sempet2 mau ke ternate, ora, ini malah morotai juga menggoda 😀
Morotai..jadi bucketlist juga nih..semoha bisa menjejakinya
wow kayaknya seru banget tuh kak kesana
Kapaaanlah bisa menjejakkan kaki ke wilayah timur ini. Membaca tulisan-tulisan teman tentang keindahan Indonesia dari Sabang sampai Merauke sungguh membuat saya bercita-cita tidak akan ke luar negeri sebelum semua provinsi terjelajahi. Sebagai anak bangsa saya merasa rugi jika keindahan alam negeri ini tidak digaungkan ke seluruh dunia. Nice post, Mbak Ira
aku pun pengen ke morotai melihat pasir putih.. ah sayang disana sudah banyak ditempati resort-resort bule.. tanah kita tapi yang dinikmati bule.
ah… saya..belum terlampau jauh melangkahkan kaki ke daerah-daerah lain di Indonesia. Sambil membaca tulisan perjalananan teman-teman yang menyenangkan, jadi ikut membayangkan. Semoga bisa juga berkunjung ke Morotai
Morotai memang indah ya… Jadi destinasi wisata prioritas Indonesia. Mudah2an berkesempatan mengunjungi Maluku dan sekitarnya.
Makasih mbk ira sdh diajak jln2 ke mororai lewat tulisan ini. Gk hanya pemandangan alamnya yg bagus nian. Di sana jg ada wisata sejarahnya ya mbk. Smoga lain waktu aku bs mendarat disini jg. Doain mbk ira ya hahay