Merawat Indonesia, Merawat Rumah Kita

Foto: Okezone.com

 

Masih Indonesiakah kita

Setelah sekian banyak jatuh bangun, setelah sekian banyak terbentur dan terbentuk. Masihkah kita meletakkan harapan di atas kekecewaan, persatuan di atas perselisihan, musyawarah di atas amanah, kejujuran di atas kepentingan.

Ataukah ke Indonesiaan kita telah pudar tinggal slogan.

…, dst

 

***

Masih Indonesiakah kita? Pertanyaan sekaligus judul puisi yang dibacakan Sekretaris Jenderal MPR, Bapak Ma’ruf Cahyono pagi itu, Sabtu, 17 September 2017 menghentak kesadaran saya. Pertanyaan sederhana, namun sarat makna.

Pikiran saya yang tengah duduk di ruang Ambarukma, Hotel Grandhika menghadiri gathering netizen Semarang bersama secretariat MPR, dibuat melalang buana oleh sentilan puisi itu. Beragam peristiwa yang berseliweran di media sosial berkerumun dalam ingatan.

Ada aksi massa membakar hidup-hidup seseorang yang diduga pencuri speaker, ada pelajar meninggal di pinggir jalan yang dibiarkan tergeletak hingga berjam-jam, ada tawuran antar pelajar, ada jenazah yang ditolak warga untuk dikebumikan di pemakanan umum. Dan tak sedikit kisah penjualan bayi dan anak. Bila ditulis semua, pastilah amat amat panjang deretannya.

Geram. Meringis. Marah. Saya tak bisa menyebutkan ekspresi yang paling pas untuk berita-berita buruk itu. Yang pasti, saya yakin, peristiwa itu seharusnya tak terjadi di sini. Di Indonesia. Alasannya, tabiat buruk yang berkembang itu bukanlah merupakan nilai luhur bangsa. Saya yakin tak satupun ajaran dan tradisi nusantara yang membenarkan kekerasan, dan ketidakpedulian.

Bukankah dulu bangsa Indonesia dilahirkan dalam semangat persatuan, semangat kebersamaan. Bangsa toleran, begitu para pendiri bangsa berikrar untuk masa depan Indonesia yang mereka cita-citakan.

Saya jadi ingat pelajaran sejarah ketika sekolah dulu. Beberapa tahun sebelum merdeka, pemuda dan pemudi dari berbagai penjuru tanah air bersatu padu menyamakan gerakan. Menggaungkan lahirnya sebuah negara merdeka, berdaulat. Itulah yang kemudian wujud menjadi Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bila dikaji lagi sejarah, tentu cerita tak akan sudah. Sejarah pun sejatinya ada tidak untuk dibahas tetapi menjadi catatan dan dasar untuk melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Hal penting yang diperlukan sekarang adalah aksi nyata dari seluruh elemen bangsa untuk merawat rumah besar bernama Indonesia.

Merawat Indonesia dengan Pilar Kebangsaan

Bagaimana merawat Indonesia, menjaganya agar tetap menjadi bangsa yang bermartabat dan berkepribadian?

Tak perlu jauh-jauh mencari jawabannya. Apalagi sampai melalangbuana ke negeri nun jauh di sana. Bangsa Indonesia sendiri sebenarnya sudah pada pegangan, dasar yang menjadi panduan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Itulah dia empat pilar kebangsaan yang sedang digaungkan kembali oleh MPR.

Pak Ma’ruf Cahyono saat memberikan sambutan dalam gathering Netizen Semarang menekankan, empat pilar berkebangsaan yang dikampanyekan kembali oleh MPR tentu saja bukan hal baru. Empat pilar itu adalah

  • Pancasila sebagai ideology negara
  • Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi negara
  • Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara, dan
  • Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara

 

Saya sepakat dengan Pak Ma’ruf. Empat pilar ini sebenarnya sudah ada dan menjadi penopang kehidupan bernegara sejak Indonesia Merdeka. Itu artinya sudah 72 tahun keempatnya terbukti bisa menjaga keutuhan dan persatuan negara dan bangsa.

Bila belakangan di lapangan sering ditemukan ada banyak penyimpangan, saatnya kita bertanya pada diri. Apakah kita sudah menerapkan dan menjalankan norma-norma yang ada dalam kehidupan sehari-hari?

Inilah dia masalah yang selama ini terjadi dan terus berkembang. Masyarakat biasanya menganggap bahwa Pancasila yang merupakan ideologi negara hanya sebatas slogan. Simbol tetapi tidak menerapkan nilai-nilainya dalam kehidupan.

Misalnya mengaku berketuhanan Yang Maha Esa tetapi hidup saling membenci. Mengaku berkemanusiaan yang adil dan beradab tetapi tidak punya welas asih pada sesama. Mengaku bersatu tetapi suka membeda-bedakan dan berlaku tak adil pada orang yang memiliki keyakinan berbeda atau berasal dari suku bangsa yang berbeda.

Mengaku menjunjung tinggi permusyawaratan tetapi tidak mau melaksanakan hasil mufakat. Tidak lagi merasa gotong royong sebagai kebiasaan baik yang harus dilanjutkan. Banyak lagi contoh kecil hilangnya rasa tepa selira dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan tak jarang, di era serba digital sekarang, masyarakat cenderung  mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan golongan.

 

Pak Ma’ruf, Pak Bambang Sadono dan Humas MPR

Semakin berkurangnya penanaman nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari inilah yang mendorong berkurangnya semangat berkebangsaan. Dan menurut Kepala Badan Pengkajian MPR, Bapak Bambang Sadono, salah satu masalah yang dihadapi karena masyarakat semakin menjauh dari nilai dasar bangsa.

“Pancasila itu dianggap hal yang jauh, bahasa langitan. Padahal sesungguhnya pancasila itu ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tinggal kita menggalinya,” ujar Pak Bambang.

Pada akhirnya satu-satunya cara untuk merawat Indonesia, Rumah Besar kita ini adalah menggali kembali nilai luhur yang ada dalam pancasila. Menggali nilai baik yang sudah turun temurun diajarkan para tetua dan pendiri bangsa.

Membiasakan berbuat baik dan berpikir positif dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Mengajarkan nilai kebaikan pada anak sejak dini. Belajar menghormati dan saling menghargai. Bersikap terbuka, ulet dan bekerja keras. Tidak mudah menyerah dan adil.

Dan, pada akhirnya. Seperti yang disampaikan Pak Ma’ruf Cahyono, mengenal Pancasila adalah sebuah proses tanpa akhir. Its never ending proses. So mari terus menggali dan mempelajari.

Mencintai Pancasila, dan UUD 1945 adalah dengan tidak menyimpannya. Tetapi mempelajari dan menyelami nilai di dalamnya.Mencintai NKRI adalah dengan menjaganya. Dan mencintai Bhinneka Tunggal Ika adalah dengan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu kembali pada puisi yang dibacakan Pak Ma’ruf. Masihkah Kita Indonesia? Ataukah ke Indonesiaan kita telah pudar tinggal slogan.

Inilah kelanjutan bait puisi yang dibacakan beliau

 

Tidak!

Karena mulai kini nilai-nilai itu dilahirkan kembali, Kita bumikan dan kita bunyikan dalam setiap jiwa dan raga manusia Indonesia,

Dari Sabang sampai Merauke, Kita akan lebih banyak lagi melihat senyum ramah, gotong royong dan tolong menolong, kesantunan bukan ajaran, tetapi kebiasaan. Dan kepedulian bukan dorongan

Dari terbit hingga terbenamnya matahari, kita akan melihat orang-orang berpeluh tanpa mengeluh, berkeringat karena semangat, bekerja keras karena ibadah, ketaatan menjadi kesadaran, dan kejujuran menjadi harga diri dan kehormatan

Wajah mereka adalah wajah Indonesia sebenarnya, tangan mereka adalah tangan Indonesia sejahtera, dan keluruhuran budi mereka adalah keluhuran Indonesia yang sesungguhnya.

Hari ini kita gemakan Ini Baru Indonesia!

***

bersama beberapa blogger Semarang

Saya merasa beruntung sekali bisa diundang menghadiri temu netizen Semarang bareng MPR RI. Selain bertemu dengan temans blogger Semarang yang keren dan baik, saya juga tersadarkan kembali. Bahwa ada PR besar yang tengah menunggu. Menggali, lalu menelurkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada generasi berikutnya. Pada anak-anak di rumah.

Pekerjaan rumah untuk terus belajar dan memahami arti sesungguhnya dan menerapkan nilai yang terkandung dalam pancasila. Menaati konstitusi, dan meresapi maknya yang terkandung dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika.

Menyatukan semangat untuk terus menggaungkan kecintaan akan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bersama merawat rumah besar bernama Indonesia. 🙂

Semarang, 19 September 2017

 

 

 

 

11 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *