Kado Cinta untuk Dua Malaikat Teristimewa
|
Kuceritakan kisah ini, bukan untuk menebar air mata. Sama sekali bukan. Aku hanya ingin semesta tahu, bahwa di sana, di lereng Gunung Marapi, hidup sepasang suami istri yang pantang menyerah. Mereka yang menolak kalah demi institusi bernama sekolah.
Mereka, dua malaikat yang selalu ada di hatiku.
Bekasi, 12 April 2017
***
Matahari bersinar terik siang itu. Hilir mudik orang berlalu lalang memadati halaman auditorium Universitas Riau, Pekanbaru. Hari itu, 5 Oktober 2016, tengah berlangsung acara Wisuda sarjana ke-97.
Menjelang siang, rangkaian kegiatan selesai. Lebih dari seribu wisudawan keluar dari gedung. Menyemut, berbaur bersama handai dan taulan yang menunggu. Di salah satu sudut halaman, persis di bawah pohon akasia, satu keluarga sedang bercengkerama. Tiga perempuan, dua lelaki, dan dua gadis kecil.
Rasa bahagia, menangkupi hati setiap orang yang ada di sana. Suasana ceria makin kentara begitu seorang pemuda berbalut jubah hitam dan toga datang mendekat. Ketika sampai, pemuda itu langsung duduk mencium tangan lelaki paruh baya yang ada di sana.
“Terima kasih Bak, berkat doa Abak dan Amak akhirnya selesai,” ujar pemuda itu pada lelaki yang dipanggil Abak.
Ia lalu mendekati perempuan paruh baya yang juga ada di sana. Mencium tangan, lalu memeluk perempuan itu erat. Matanya berkaca-kaca. Ia menunduk, lalu tersenyum bahagia. Setelah itu, pemuda itu bangkit, menyalami dan memeluk dua perempuan lain yang ada di sana. Kedua perempuan itu adalah kakaknya.
Di tengah kegembiraan, lelaki yang dipanggil Abak keluar dari kerumunan. Mencari posisi agak ke pinggir. Merogoh saku, mengambil telepon genggam, lalu memencet nomor tujuan. Ia ingin berbagi kabar bahagia dengan satu lagi anggota keluarga. Putri ketiga yang tak bisa hadir di acara wisuda.
Yup. Putri ketiga itu adalah saya. Sepanjang pagi, saya bolak-balik menelepon Amak dan Abak (panggilan untuk Ibu dan Ayah di Minangkabau), juga kedua kakak. Menanyakan bagaimana prosesi wisuda. Tak sabar ingin mendengarkan momen bahagia.
Semula saya berencana hadir. Namun, karena tengah hamil besar, saya tak bisa terbang ke Pekanbaru untuk ikut dalam kegembiraan. Ditambah lagi, Bintang dan Zizi juga tak bisa ditinggal. Jadilah saya hanya mengikuti momen itu secara live lewat grup whats app dan panggilan jarak jauh.
Ketika telepon genggam di tangan berbunyi untuk kesekian kalinya, betapa lega rasa di dada. Kabar gembira itu akhirnya nyata.
‘Assalamualaikum Ira. Alhamdulillah acara alah sudah. Kini Muncu alah sah jadi sarjana,” ujar Abak.
Saya tak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Kabar wisuda Muncu, adik, anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, menjadi berita yang sangat melegakan. Saking senangnya, saya sampai tak sadar air mata jatuh ke pipi.
Akhirnya, kami berempat adik beradik lengkap menyandang gelar sarjana. Sebuah hadiah yang tak terhingga untuk dua orang yang paling saya sayangi. Dua malaikat yang selalu ada dalam hidup, Abak dan Amak.
*******
Bagi sebagian orang, barangkali kabar bahwa satu keluarga behasil meraih gelar sarjana adalah hal biasa. Namun, bagi kami, ini adalah sesuatu yang luar biasa, sebuah sejarah. Hadiah atas keyakinan dan semangat Abak dan Amak untuk tidak mudah menyerah.
Di kampung kami, nun sebuah negeri di lereng Gunung Marapi, Sumatera Barat, saat itu sangat sulit menemukan anak petani yang menempuh pendidikan sarjana. Kalaupun ada biasanya hanya satu dan dua, tidak semua anaknya yang bersekolah hingga sarjana. Biasanya anak yang kuliah adalah anak abdi negara. Sedangkan Amak dan Abak hanya petani biasa yang melanjutkan ekonomi dari bertani dan berkebun sayur.
Ketika kakak pertama melanjutkan pendidikan setelah tamat SMA, banyak yang mencibir. “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi. Kan perempuan juga,” begitu bisik tetangga yang sampai ke telinga kami. Apalagi saat itu, ada tiga anak lainnya yang masih bersekolah. Keadaan ekonomi keluarga juga pas-pasan saja. Bergantung hasil penjualan sayur. Cibiran makin menjadi ketika kakak kedua juga melanjutkan studi ke universitas setelah lulus SMA.
Bagi Amak dan Abak, tak ada kata kalah. Apalagi menyerah. Meski mendapat cibiran dan dianggap tak mampu, mereka tak menyerah. Mereka yakin, hanya sekolahlah yang akan mengubah hidup kami. Justru karena kami perempuan makanya perlu sekolah.
“Agar hidup kalian berubah. Biarlah Amak dan Abak susah, tapi kalian tak boleh susah,” ujar Amak meyakinkan kami untuk terus bersemangat sekolah.
Untuk menyambung hidup dan biaya sekolah, Abak dan Amak membuat kebun di sekeliling rumah. Beragam yang ditanam. Ada bayam, kangkung, ketela pohon, ubi jalar, cabe, sorgum, dan tanaman lain. Sayuran ini ditanam bergantian. Setiap hari selalu ada yang panen dan dibawa ke pasar. Begitu seterusnya.
Tak jarang pula kami ikut membantu membawa sayur itu ke pasar lokal. Bila Abak atau Amak tak sempat mengantarkan, kami kakak beradik membawa sayur-sayur itu sambil pergi ke sekolah. Menempuh perjalanan lebih dari satu kilometer. Kebetulan pasar lokal itu berada tak jauh dari sekolah. Di pasar, sayur itu dititip pada saudara atau tetangga.
Pernah suatu kali saya mengutarakan keinginan untuk tak melanjutkan pendidikan hingga sarjana. Cukup sampai SMA saja, lalu mencari kerja. Alasannya saat itu, kedua kakak masih kuliah dan pasti membutuhkan biaya besar. Ditambah adik yang juga mau masuk madrasah tsanawiyah.
Namun keinginan itu ditolak mentah-mentah. Abak dan Amak berkeras.
“Tak perlu dipikirkan bagaimana. Untuk sekolah, pasti ada saja jalannya. Yang penting tidak menyerah dan selalu berusaha.”
Nasehat dan keyakinan hati Amak dan Abak untuk menyekolahkan kami hingga pendidikan tinggi, membuat saya semangat lagi. Kuasa Allah. Saya pun diterima di universitas dengan jurusan yang diinginkan dan mendapat beasiswa. Dari semester dua hingga tamat, tak perlu lagi memikirkan biaya.
Di hari pertama saat saya harus merantau untuk kuliah, Abak turut mengantar. Kami naik bus untuk perjalanan selama tujuh jam dari Bukittinggi menuju Pekanbaru. Selama perjalanan, Abak lagi-lagi mengingatkan agar selalu kuat dan keras pada kehidupan.
“Bila suatu hari kalian lelah, berhentilah sebentar mengambil jeda. Tapi bukan untuk surut ke belakang. Berhenti untuk mempersiapkan langkah yang lebih lebar.”
Tekad kuat Abak dan Amak itu menjadi pelecut bagi kami untuk terus berprestasi. Tidak mudah berkata sudah, apalagi menyerah kalah. Ajaran yang terus saya pegang dan menjadi bekal hingga menjalani dunia kerja dan berkeluarga.
Benar saja. Saya merasa beruntung pernah melalui masa-masa sulit selagi muda. Begitu memasuki dunia kerja, petuah dari Abak dan Amak menjadi bekal tak ternilai. Saya juga menyadari bahwa memang tidak boleh ada kata menyerah untuk sekolah. Kini saya merasakan banyak manfaatnya. Andai saat itu, Abak dan Amak tak berkeras dan membiarkan saya berhenti sekolah, tentu akan berbeda kisah hidup yang saya jalani.
Sekolah telah mengantarkan saya pada banyak kesempatan. Pada banyak tempat yang barangkali tak akan tertapaki bila tak sampai melanjutkan pendidikan. Semangat pantang menyerah yang juga diturunkan Amak dan Abak pada Muncu, anak laki-laki satu-satunya di keluarga kami.
Jatuh bangun, akhirnya Muncu berhasil meraih gelar sarjana. Sekarang ia bekerja di salah satu Bank Swasta. Kakak yang nomor satu bekerja sebagai tenaga kesehatan di Kota Padang. Kakak kedua menjadi Guru di Riau. Berkah yang tak terkira untuk kami sekeluarga.
Cibiran yang dulu sering mengarah pada keluarga kami telah berubah arah. Penduduk lain yang juga petani menjadi termotivasi mengikuti jejak Abak dan Amak. Melihat kami empat adik beradik bisa sarjana, mereka pun turut bersemangat untuk terus menyekolahkan anak-anak ke jenjang pendidikan tinggi. Tak peduli anaknya laki-laki atau perempuan. Saya hepi, kami semua hepi.
Dan lihatlah. Bagaimana mungkin saya bisa berhenti menyayangi kedua orang tua yang sudah memberikan banyak hal dalam hidup. Setiap kali saya dalam keadaan susah, merekalah tempat mengadu pertama. Abak dan Amak yang pertama kali menanyakan apakah kami baik-baik saja. Apakah kami butuh pertolongan.
Januari lalu, ketika saya melahirkan anak ketiga, Abak dan Amak rela hidup terpisah untuk sementara waktu. Sebulan sebelum masa melahirkan, Amak datang dan tinggal bersama saya di Bekasi, sedang Abak tetap di kampung. Amak yang menyiapkan segala keperluan selama persalinan. Menemani selama masa berat setelah operasi Caesar ketiga.
Mengingat masa ini, saya benar-benar tak bisa berkata-kata. Hanya bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan. Pada Dia yang telah mengirimkan malaikat yang begitu baik menjaga saya. Memelihara dan merawat sejak kecil. Bahkan kini setelah saya beranak tiga.
“Nak, engkau boleh saja telah menjadi seorang ibu. Tapi bagi Amak, engkau tetaplah putri kami, dan tak akan berubah selamanya.”
With Love to Amak dan Abak
luar biasa kegigihan orang tuanya ya mbak. semoga makin banyak orang tua yang sadar pentingnya sekolah untuk anak-anak. semoga orang tuanya mbak ira sehat selalu.
Amin. terima kasih ya doanya, iya mas setuju semoga makin banayk yang peduli arti penting sekolah ya.
luar biasa…. orang tua senantiasa memikirkan yang terbaik untuk masa depan anak-anaknya. inget babe sama mamak, peluk Mbak Ira… hiksss
😉 semoga kita juga bisa seperti mereka ya mba… gigih dan pantang menyerah juga untuk anak2 kita biar terus bersekolah
Membaca tulisan ini jadi terharu sekali. Pasti orangtua bangga sekali mba Ira 🙂
Smoga orangtua selalu sehat ya mba Ira. Aamin
buatnya juga dalam keadaan rindu yang luar biasa mba. makasih ya doanya.
Perjuangan orang tua memang luar biasa ya mbak? Namun, kadang kurang disadari oleh anak-anaknya hingga si anak sudah menjadi orang tua..
Wah pasti abak dan amak seneng banget mbak bisa jalan-jalan ke singapura..
iya, kita bahkan sering lupa sama meraka dan mereka sama sekali tidak.. jadi sering malu karna lebih sering ditelepon daripada menelepon..
hikss
Terharu dengan semangat dan perjuangan orang tua Mbak Ira.
Salam buat beliau, Amak dan Abak ya…
semoga sehat selalu dan berkah hingga akhir usia
amin makasih teh, nanti disampaikan salamnya ya.
gigih dan keras, baca tulisanmu mbak bikin aku kangen orang tuaku 🙂
sehat selalu untuk orangtuanya mbak ira
semoga tercapai keinginan mbak ira untuk memberangkatkan orangtuanya ke singapore, asiiiiik pasti !
iya, banyak sekali nilai harus dipelajari dari mereka. semoga nanti juga bisa jadi orang tua yg gigih. makasih mba doanya untuk Amak dan Abak
Salut sama orang tuanya mba, gigih dan pantang menyerah. Alhamdulillah ya mba sekeluarga bisa sarjana semua, walaupun awalnya banyak mendapat cibiran, yang penting sekarang bisa membuktikan buah manisnya 🙂
iya mba. kalau saya sih yang terpenting bisa jadi motivasi dan contoh buat tetangga bahwa bisa. dan alhamdulillah sekarang sudah makin banyak yang melanjutkan sekolah.
Perjuangan orang tua tidak sia-sia, semuanya berkat kegigihan dan doa yang dipanjatkan oleh orang tua kita… Nice life story mba.
Salam kenal mba Ira..
iya betul mas. Mereka malaikat yang tak pernah berharap balas..
salut sama orang tua Mba Ira! jadi teringat Almarhum papa yg selalu menekankan kepada kami untuk bersekolah setinggi2nya bahkan sesaat sebelum kepergiannya masih berpesan agar adik2 saya harus kuliah..
Semoga orang tua Mba Ira senantiasa diberi kesehatan, aaaamin
Iyabya mba. Orang tua memang tak pernah habis sayangnya sama anak2. Peer kita nanti buat anak2 kita ya mba
Tulisan yang luar biasa Mba Ira. Sangat menginspirasi.
Orang tua memang selalu menjadi busur yang rela merentangkan dirinya untuk melesatkan anak Panah yang dititipkan.
Terima kasih mas. Semoga makin banyak anak2 yg bersekolah ya.
Kisah perjuangan yang mengharukan ya, diakhiri dengan hadiah untuk orang tua. Tinggal Klik, Cari, dan Happy berkat Elevenia tiket untuk orang tua lebih mudah didapatkan.
Doakan ya mas bisa kesampaian hadiahnya
AAAAA INI KENAPA MATA AKU JADI KERINGETAN (T_T).
Ceritanya bikin aku terharu dan betul sebagai anak rasa-rasanya ingin memberikan hadiah terbaik yaa. Terimakasih atas rekomendasi elevanianya ehe. Salam buat orangtua mbaknya. Semoga sehat selalu!
ambilkan tisuuuuuu…. #ikutanlapiler.. eh
Indonesia memang lekat sekali budaya patriarkinya. Anak perempuan dianggap gak perlulah sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya tugas perempuan nantinya ya di sekitaran rumah tangga aja. Duh, aku cukup khatam pula dengan opini kayak gitu. Tapi, emang dasarnya nekat juga anaknya. Gak direstuin sekolah tinggi ya aku cari biaya sendiri. Sampai sekarang. Tinggal tugas akhir yang jadi penentuan. Baca ini rasanya jadi pengin cepat pakai toga supaya bisa lebih cepat membungkam banyaknya cibiran yang berdatangan.
wah mba tiwi semangat ya… semoga segera selesai dan bisa membanggakan orang tua.. ayo mba bungkam! Bungkam! 🙂
Terharu banget aku bacanya Mba Ira.
Iya aku juga selalu gak setuju dengan cibiran orang-orang yang bilang “buat apa sih perempuan sekolah tinggi2 kan ujungnya di dapur juga”
Duuuh.
iya . padahall kalau kata kartini , bahkan untuk di rumah sekalipun perempuan ahrus sekolah biar bisa mempersiapkan anak2nya ya..
perjuangan yang panjang dan sangat berat kemudian berujung keharuan dan kesenangan untuk kebahagiaan orang tua. Oia. saya baru tau ternyata elevenia itu bisa memakai 2 voucher sekaligus enak banget
iya mas. kemarin saya pakai awktu beli mainan bintang, ternyata bisa
Astaga, aku nyesel baca postingannya, bikin mau meneteskan air mata jadinya T_T
jangannn.. kan di preambule tulisannya udah dikasih tahu mas, bukan untuk meneabar air mata… 🙂
Saatnya berjuang menggantikan perjuangan panjang orang tua. Meskipun tak akan pernah tergantikan selamanya jasa-jasa mereka.
Sukses selalu untuk keluarga besarnya, Kak….
iya mba benar.. saatnya kita mengganti dan menjadi orang tuaa
Seneng lihat semangatnya mba ira. Hayuk mba selalu semangat untuk anak dan keluarga
ah iya. kalau saya tak semangat malu sama mba Rian.. 😉
wih… keluarga bahagia dan penuh cinta dengan kebersamaan yang hakiki. Memang keluarga yang ngumpul dan guyub selalu menyenangkan apalagi semuanya belanja di elevania 🙂
iya mas. karena kita tinggalnya terpisah-pisah jadi pas ketemu itu rasanya luar biasa bangett.. Iya elevenia memang menyajikan banyak cerita
Luar biasa mba perjuangan Amak sama Abak untuk membuat anak²nya menjadi sarjana semua. Apalagi orang tua pasti senang, anaknya bisa ngasih hadiah liburan ke Singapore .. saluuut mba
aminn.. semoga terwujdu, makasih ya mas doanya
Duh.. Duh.. Jadi keinget ortu di kampung dan perjuangan masa-masa kuliah. Sampai sekarang masih bertanya-tanya, apa yang salah dengan anak kampung yang ingin sekolah tinggi ya, kenapa kerap dicibir -_-
tapi biarlah mba mereka berkta apa saja. yang penting kita lakukan yang terbaik untuk hasil terbaik.. ya gak 🙂
Urang awK kironyo uni Ira…Oh yo dima kmpuangnyo ni…?
Di Batipuah, Tanah Datar. Iyo urang awak, rindu kampuang sapanjang waktu. 🙂
Salam urang awak uni Ira 🙂
Ternyata sekampung kita yaa.
Salut sama perjuangan mak n abah, smg mrk selalu dlm.keadaan sehat dan bahagia sampai akhir hayat. Aamiin.
asyikk senannya. ado yng sakampuang. salam kenal Merida. Terima kasih ya doanya..
Kedua orangtuamu itu orang yang hebat, salut sama perjuangan mereka membesarkan anak2nya hingga sesuai harapan … Salam buat mereka Ir
iya mba harus belajar banyak dari mereka. Siap nanti disamaikan salamnya kalau sudah ketemu ya…
salam takzim saya u kedua orang tua ya mbak..
terharu saya membaca ini..
kisah keluarga kami jg tidak jauh beda.
kegigihan org tua yang mengantar anak anak mereka ke jenjang pendidikan yg tinggi..
tak lain dgn harapan masa depan anak anak kelak menjadi lebih baik.
ah saya jd kangen kedua org tua saya yg sudah almarhum..
wuaa mba fika.. nanti salam juga buat orang tuanya. Iya, duania benar2 berebda dengan mereka. Semoga kita bisa mengikuti jejaknya ya.
selamat untuk adiknya Mba Ira yang telah berhasil menjadi sarjana ya
terimakasih ceritanya, menohok aku yang hidup di tanah jawa dan tak pernah mendengar cibiran untuk apa anak perempuan kuliah toh ujungnya ke dapur juga, karena sekelilingku tak begitu semua :’)
terimakasih telah membuka pandanganku semakin luas. dan membuat aku sangat bersyukur, sangat,
iya mba, di beberapa daerah memang kepedulian akan sekolah belum terlalu bagus. Terima kasih ya sudah membaca, semoga kita menjadi makin bersyukur dengan hidup dan kehidupan ini
Orangtuanya gak putus asa, maka anak2nya ikut semangat dlm menuntut ilmu. Semoga Bpaka Ibunya bs ikutan jalan2 di universal studio, sekalian anak cucunya juga ya
Amin.. makasih Mba Jiah doanya…
Mbak Ira….aku mewek lebay bacanya. Duh… *lap air mata dulu bentar*
Perjuangan untuk bisa menyekolahkan itu selalu bikin aku mewek terharu. Aku bersyukur ga perah ngerasain susah untuk bisa sekolah, dan kemudian malu karena malah males-malesan.
Semoga kado cinta buat kedua orangtua Mbak Ira bisa terwujud ya. Aamiin.
Eh aku baru tahu kalau di Elevania itu bisa beli voucher tiket juga. Ah ga gaul nih, Dian.
jangan mba.. jangan sampai mewek. Kalau mewek gagal dong disclaimer di awal tulisan bahwa ini bukan untuk menebar air mata. makasih ya sudah membaca..
Egp dgn disclaimer… aku terharu bacanya. sampe hampir gak tau mau nulis apa..
salut mba dgn kasih sayang dan kegigihan para orang tua kita…
entahlah, apakah putra/putri kita merasakan kebanggaan yang sama seperti yang kita rasakan pd orang tua kita… semoga begitu juga ya
*jadi kangen papa… semoga papa ku di-Sana bahagia
barakallah, semoga berkah ilmunya.
Setua apapun, tetep jadi anak kecilnya orang tua 😀
Salut banget dengan kegigihannya, banyak ilmu