Kita dan Kemandirian Pangan, Sebuah Catatan dari Hari Pangan Sedunia
|Kamu makannya apa (tempe)
Saya juru masaknya
Ada tempe goreng , ada ayam goreng
Semua yang digoreng
(oseng, oseng, oseng)
***
Suasana diskusi di lantai dua Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, Ahad sore, 29 Oktober 2016 seketika menjadi cair. Persis setelah Dhea Ananda turun dari meja pembicara. Kehadiran artis yang mempopulerkan sejumlah lagu anak pada era 90-an itu membuyarkan raut serius dari muka para pembicara dan peserta diskusi mengenai ketahanan pangan yang saya ikuti hari itu.
Dea turun, lalu menyanyi. Ia menyorongkan mikrofon pada beberapa peserta diskusi. Yang lain ikut menimpali.
Du bi du bi dam dam, du bi du bi dam…
Du bi du bi dam dam, du bi du bi dam…
“Masih pada ingat aja lagu ini. Tuh kan bapak-bapak ketahuan lebih kencang suaranya,” ujar Dhea disambut riuh rendah suara peserta. Ada yang malu-malu di pojok meja.
Saya yang duduk di sisi kanan ruang diskusi ikut mengiringi lagu Du Bi Du Bi Dam yang dipopulerkan Enno Lerian itu. Tentu saja dengan suara yang jauh dari indah. 🙂
Menurut saya, lagu yang dibawakan Dhea sangat cocok dengan tema diskusi hari itu, “Memajukan Pertanian Berkelanjutan untuk Wujudkan Hak atas Pangan”. Diskusi digelar oleh Forum Alumni Aktivis Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) bekerjasama dengan, Oxfam, organisasi nirlaba yang konsern terhadap isu pangan dunia.
Diskusi hari itu memang berbeda dengan diskusi yang biasa dilakukan FAA PPMI. Biasanya, tema yang diangkat tak jauh-jauh dari peristiwa politik dan sosial. Namun kali ini, menurut Mas Agung Sedayu, Koordinator Presidium FAA PPMI, tema diskusi dibuat untuk turut berpartisipasi menyemarakkan Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap akhir Oktober.
Hmm, benar juga. Menurut saya, isu keadilan pangan memang seharusnya juga menjadi perhatian bersama. Tak hanya di saat hari pangan dunia. Alasannya, sebagai negara agraris, kondisi pertanian dan pangan kita masih miris.
Kemandirian Pangan Dimulai dari Dapur Kita
Sesuai tebakan saya, Dhea memang punya pesan spesial dari lagu Du Bi Du Bi Dam. Menurut dia, lagu itu sengaja ia nyanyikan untuk mengingatkan bahwa ketahanan pangan sebenarnya bukanlah sekadar isu langitan. Sebagai masyarakat sipil biasa, kita juga bisa turut andil dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Menurut Dhea, cara mewujudkan ketahanan pangan sangat sederhana. Bisa dimulai dari rumah sendiri. Salah satunya dengan menanamkan kebiasaan mengkonsumsi pangan lokal di rumah. Seperti yang selama ini sudah ia terapkan.
“Saya termasuk yang secara tak sadar, sejak kecil sudah terbiasa makan makanan lokal di rumah. Ibu saya agak ‘pelit”. Ia melarang saya untuk makan junk food,” ujar Dhea sumringah.
Kebiasaan dari sang Ibu kini juga diterapkan dalam keluarga kecilnya. Setelah berumah tangga, Dhea membiasakan diri menghidangkan menu dengan bahan dasar lokal untuk sang suami.
Selain menyangkut kemandirian pangan, membiasakan diri mengkonsumsi panganan lokal menurut Dhea juga terbukti baik untuk kesehatan.
“Justru setelah menikah, suami saya sekarang kolesterolnya menjadi lebih terkendali,” ujar Dhea.
Soal mencintai pangan lokal ini memang menjadi salah satu isu yang diangkat dalam peringatan Hari Pangan Sedunia tahun ini. Kecintaan terhadap pangan lokal menjadi bagian dari tema besar Hari Pangan Sedunia 2016 yaitu “Membangun Kedaulatan Pangan di Era Perubahan Iklim”
Membiasakan diri mengkonsumsi penganan lokal dipercaya bisa memberi semangat pada petani lokal untuk terus meningkatkan produksi pertanian. Sederhananya, penganan berbahan dasar pangan lokal pastilah ditanam di nusantara oleh petani dalam negeri.
Semakin kita menggunakan pangan lokal, maka akan semakin banyak pula permintaan pasar akan pangan lokal. Bila permintaan pangan lokal meningkat maka yang sumringah ya petani lokal juga.
Meningkatnya permintaan pasar biasanya berbanding lurus dengan kenaikan harga. Dan itu tentu saja akan menguntungkan petani kita. Kesejahteraan petani meningkat, ujungnya pendapatan nasional akan ikut terdongkrak.
Urusan simbiosis mutualisme ini tak perlu mencari contoh jauh-jauh. Orang tua saya adalah contoh paling dekat. Abak dan Amak merupakan petani.
Selain menggarap sawah, Abak dan Amak juga berladang ubi, yang diselang-selingi dengan jagung. Biasanya harga akan naik bila di musin tertentu. Misalnya menjelang lebaran, musim liburan sekolah atau ketika musim kering. Salah satu alasannya karena permintaan pasar yang meningkat.
Coba bayangkan bila permintaan pasar meningkat setiap hari tanpa pandang musim. Tentulah penghasilan yang akan diperoleh petani jauh lebih baik dibanding sekarang. Tak cukup sampai di situ. Bila petani merasa untung, maka semangat untuk bertani pun akan terus meningkat.
Sayangnya, mimpi mewujudkan kemandirian pangan ini bukan perkara mudah. Faktanya hingga saat ini, meski Indonesia merupakan negara agraris, kondisi pangan nasional masih miris.
Gambar Fakta Pangan Indonesia
Salah satu kendala dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional adalah semakin kurangnya minat masyarakat untuk bertani. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Bapak Tjuk Eko Hari Basuki, Kepala Pusat Ketersediaan Kerawanan Pangan Kementrian Pertanian.
Menurut Pak Tjuk, apabila permintaan pangan lokal terus menurun, petani akan semakin kehilangan motivasi. Belum lagi persoalan kurangnya penghargaan atas diversivitas pangan lokal. Padahal menurut Pak Tjuk setiap daerah memiliki kekhasan termasuk dalam hal pangan.
“Bila terjadi intervensi, seperti penyeragaman penanaman akan menyebabkan penurunan produksi pertanian yang pada akhirnya menyebabkan sejumlah orang kesulitan mengakses bahan makanan,” jelas Pak Tjuk.
Bisakah Indonesia Mandiri Pangan?
Urusan ketahanan pangan lokal tentu saja bukan hanya urusan domestic masing-masing keluarga. Tak cukup hanya dengan tumbuhnya kesadaran bersama akan pentingnya mencintai dan mengkonsumsi pangan lokal. Perlu upaya menyeluruh dari seluruh pihak terutama pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan.
Bila pertanyaannya apakah Indonesia bisa mandiri pangan? Tentu saja jawabannya bisa. Hanya saja, menurut Pak Khudori, Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan yang juga Pegiat Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia (AEPI), butuh usaha ekstra untuk mewujudkannya.
Menurut Pak Khudori, saat ini ada enam kendala utama yang menjadi kendala dalam pencapaian produksi pangan nasional. Namun bukan berarti mustahil bagi Indonesia untuk mencapai kemandirian pangan secara keseluruhan. Buktinya, di bawah pesimisme yang ada, Indonesia pernah mengalami swasembada beras.
Gambar : Kendala produksi pangan
Di tengah keterbatasan yang ada, kemandirian pangan menurut Pak Khudori tetap bisa dicapai dengan mewujudkan sistem pertanian berkerlanjutan. Misalnya dengan menerapkan sistem pertanian yang sesuai secara teknis, layak ekonomi, dan diterima secara sosial dan budaya setempat. Pemerintah juga perlu menyesuaikan kebijakan swasembada dengan kekhasan masing-masing daerah.
“Di masa depan, ada baiknya tidak terjebak pada pendekatan komoditas, tetapi pada pendekatan kecukupan ketersediaan pangan. Pendekatan yang fokus pada komoditas tertentu akan mengeleminasi potensi kelimpahan sumberdaya pangan yang ada,” ujar Pak Khudori.
Impian mewujudkan kedaulatan pangan ini tentu saja tak luput dari pemerintah. Pak Noor Avianto, perencana pada Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas memastikan peningkatan ketahanan pangan sudah masuk dalam Arah Pembangunan Pangan 2005-2025. Caranya dengan penguatan ketahanan pangan dengan meningkatkan ketersediaan pangan, menjaga stabilitas penyediaan bahan pangan, dan meningkatkan akses rumah tangga untuk memperoleh pangan.
Gambar RPJM Pangan
Menurut Pak Noor, masalah utama yang menjadi perhatian pemerintah dalam mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan memastikan ketersediaan air dan lahan. Faktanya saat ini banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman. Selain itu, ketersediaan sumber-sumber mata air juga makin tergerus.
Hmm, kalau soal ketersediaan lahan ini sepertinya bakal menjadi masalah serius ya. Sekarang, di mana-mana alih fungsi lahan pertanian ini terjadi sedemikian hebatnya. Banyak lahan persawahan yang disulap menjadi komplek perumahan. Dan menurut saya, ini tentu menjadi dilema tersendiri.
Di satu sisi laju pertumbuhan penduduk masih tinggi sehingga membutuhkan lahan pemukiman yang luar. Sedangkan di sisi lain, pertambahan jumlah penduduk juga membutuhkan peningkatan konsumsi pangan. Intensifikasi pertanian sepertinya bakal menjadi jalan keluar yang tak terhindarkan dan harus terus dioptimalkan.
Menuju Kedaulatan Pangan Seutuhnya
Kedaulatan pangan, meski terkesan klise merupakan hal fundamental dalam pembangunan nasional. Bagaimanapun, kedaulatan dan kemandirian pangan akan berakhir pada satu muara, meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Menurut Bu Dini Widiastuti, Direktur Keadilan Ekonomi Oxfam Indonesia, perempuan merupakan kelompok yang akan sangat diuntungkan dengan terwujudnya kemandirian pangan ini.
Kenapa perempuan? Karena kenyataannya, perempuan punya andil besar dalam memajukan sektor pertanian nasional. Karena perempuan merupakan kelompok yang bersentuhan secara langsung dengan produk-produk dan pengolahan pangan. Dan karena di tangan perempuan pula kecukupan gizi dan pengelolaan pangan di masing-masing rumah tangga dijalankan.
“Perempuan memiliki peran yang strategis dalam bidang pertanian. Karena itu pemberdayaan perempuan dalam sektor pertanian dan pengolahan industri pangan harus terus menjadi perhatian,’ ujar Bu Dini.
Pada akhirnya, segala upaya mewujudkan kemandirian dan kedaulatan energi adalah pekerjaan rumah bersama yang tak bisa selesai oleh pemerintah saja. Perlu kerjasama seluruh sektor, ya petani, ya sektor swasta, dan bahkan rumah tangga.
Seperti disampaikan Mas Agung sang koordinator presidium PPMI. “Program pertanian berkelanjutan merupakan tanggung jawab bersama yang harus menjadi perhatian semua.”***
Tulisannya lengkap dan gafisnya kece mba Ira. Jadi semakin berharap semoga semakin mandirei di bidang ketahanan pangan 🙂
Iya mba. Sangat perlu ya mba bisa mandiri pangan..
Artikelnya bagus sekali. Sesama beras, impor dan lokal jk harga berbeda hauh pasti konsumen milih yg lbh murah. Di negara maju petani disubsidi shg bisa jual harga terjangkau. PetNi k ita cari modal saja kdg ngos2an belum dihajar hama, harg pupuk dan saat panen harga dirusak shg harga jatuh. Ini perlu di enahi dr tingkat strukturalnya dulu.
Iya mba. Kebijakan impor yg tepat juga penting ya buat mencapai mandiri pangan. Soal subsidi pupuk penting banget. Di kampung kadang kalau berkebun cabe yg memamg butuh pupuk banyak petani yg harus nombok. Harga jual nantinya hanya cukup buat nombok biaya beli pupuk.
ibu ku juga begitu mbak, sejak kecil kami selalu makan makanan rumahan yang dimasak sendiri oleh ibu, sampai sekarangpun masih begitu nggak pernah mau beli makan di luar, aku yg sudah menikah sekarang malah kadang lebih banyak makan di luar dibanding dirumah huhuhu
Asyik.. iya ya mba gidaan makan di luar sekarang makin kuat ya apalagi banyak pilihannya. Eh makan di luar sih kayaknya sah aja selama tetap memprioritaskan pangan lokal ya.. 🙂
Acara World Food Day di Boyolali, keren banget kemarin
Iya asyik.. baca postingan mba wit kemarin ngiler lihat panganannya. Ada jagung raksasa pula.. 🙂
Sayang kita maunya harga pangan murah tapi….para petani kewalahan krn harga benih dan pupuk mahal,,belum lg jika musim tiba2 tak bersahabat..
Kasihan petani..
Berharap bahan makanan yang kita olah sehari2 murah mbak. Saya tu kadang mikir negara ini kaya tapi kenapa beli sayur, bawang, serta ikan kok mihil ya? #curhatemak2
Ayo perempuan, semangat memasak! Terutama memanfaatkan pangan lokal!!
kamu makannya apa?tempe!
saya juru masaknya.
Oke!
Semoga Indonesia ke depan bisa segera mandiri pangan 🙂
6 point kendalanya blm bisa saya baca jelas. Terlalu kecil meski dizoom dari hape inj…
Maklum hape jadul
Ibu saya juga memberi pangan yang sederhana. Tapi sayangnya saya blm bisa lepas dr mie. Semangat wanita utk mengolah pangan dn mencintai produk lokal.
Saya dukung konsumsi pangan lokal. Para petani kita itu food heroes yang harus diapresiasi
Saya pribadi optimis kita bisa mandiri dari segi pangan, asalkan serius, bukan slogan belaka. Maaf-maaf kata, para petani di kampung kami sulit sekali mendapatkan pupuk Mbak. Padahal harganya mahal loh, tetap dicari. Lalu pas jual hasil tani–susah karena harga dimainkan tengkulak. Bila serius, pemerintah harus memfasilitasi dengan program yang memang mantap. Akhirnya banyak yang malas bertani dan dan kita impor terus hehe. Tapi saya berdoa tetap bisa mandiri. Betul, dimulai dari keluarga.