Hikayat Semenanjung Kampar
|Ini wilayah yang penuh cerita. Terentang di atas bukit-bukit gambut perkasa. Di balik kemolekan rupa dan kelebatan hutannya, dia menyimpan sukma yang sewaktu-waktu bisa menjadi senjata. Dialah yang dalam tahun-tahun terakhir hidup pada pembicaraan di meja-meja konferensi tingkat dunia.
Semenanjung Kampar. Sejatinya wilayah ini adalah kawasan seluas 682,511 hektare dari luasan gambut yang terletak di sebelah timur Provinsi Riau. Secara geografis wilayah ini terletak di antara 101050′ dan 103047′ Bujur Timur serta 0010′ dan 1014′ Lintang Utara. Secara administratif wilayah ini berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Siak sebesar 38 persen dan Kabupaten Pelalawan 62 persen. Kawasan ini mencakup 14 desa di Kabupaten Siak dan 12 desa di Kabupaten Pelalawan.
Kawasan ini mencakup hutan rawa gambut dengan dua kubah gambut berkedalaman 15-20 meter. Terdiri dari empat kawasan lindung yaitu Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar, Suaka Margasatwa Tasik Belat, Suaka Margasatwa Tasik Metas, Suaka Margasatwa Tasik Serkap, dan ekosistem hutan mangrove. Semenanjung Kampar memiliki potensi kayu yang tinggi yakni sekitar 287 m3/hektare terdiri dari 58 jenis. Sepuluh jenis di antaranya dilindungi dan presentase tutupan tajuk rata-rata 76 persen. Di kawasan ini juga ditemui 25 jenis satwa dan 7 jenis di antaranya dilindungi.
Hampir keseluruhan Semenanjung Kampar merupakan hamparan gambut dengan ketebalan lebih dari 4 meter. Juga terdapat beberapa kubah gambut yang luas dengan kedalaman lebih dari 15 meter. Semenanjung Kampar merupakan deposit kandungan karbon yang sangat tinggi. Menurut perhitungan Delft Hydrautics –lembaga yang bergerak dalam penelitian lingkungan– jika Semenanjung Kampar dikoneversi untuk perkebunan atau HTI diperkirakan 4,5 Gt karbon akan terlepas ke atmosfir.
Propinsi Riau sendiri merupakan wilayah yang memiliki alahan gambut terluas di Sumatera dengan tutupan 4,044 juta hektare. Menurut Susanto Kurniawan, koordinator Jikalahari, hutan rawa gambut Semenanjung Kampar luasnya mencapai 682.511 hektar dan tersebar di kabupaten Siak dan Pelalawan. Sekitar 41 persen atau 284880 hektar di antaranya ditetapkan untuk hutan tanaman industri (HTI). sebesar 35 persen atau 245.120 hektar lainnya diserahkan untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan 24 persen atau 170 ribu hektare lagi untuk perkebunan kelapa sawit. Hanya sisa dari kawasan
itu yang digunakan untuk kawasan suaka margasatwa.
Berdasarkan data Weatland Internasional, Riau memiliki luas lahan gambut terbesar kedua setelah Papua yaitu sebesar 3,836 juta hekatr atau 17 persen dari luas total lahan gambut Indonesia. Keistimewaan hutan rawa gambut di Riau adalah memiliki kedalaman mencapai 10 meter, seperti yang terdapat di Semenanjung Kampar. Keadaan rawa gambut semananjung kampar membnetuk kubah besar di dalm tanah yang berfungsi menyimpan kandungan karbon terbesar di Indonesia
Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) menyebut sejak tahun 1996 hingga tahun 2007 kawasan Semenanjung Kampar telah kehilangan 239,517 hektare hutan alam. Bahkan, selama 7 tahun terakhir pertumbuhan akasia telah merubah tutupan lahan hutan dan merupakan ancaman bagi keselamatan ekosistem hutan rawa gambut Semenanjung Kampar.
Menurut beberapa penelitian, lahan gambut (peatlands) memiliki fungsi yang lebih besar sebagai pengendali perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia. Selain itu, lahan gambut dikenal luas dalam menjaga kestabilan tata air serta menyerap dan melepas air secara horizontal.
Setiap konversi dan eksploitasi lahan gambut akan menyebabkan terlepasnya emisi karbon (CO2) yang mencemari lingkungan global karena terganggunya sistem water table (sistem hidrologis secara keseluruhan). Apabila emisi dari lahan gambut diperhitungkan, maka Indonesia tercatat sebagai negara urutan tiga penghasil emisi karbon (CO2) terbesar di dunia.
Hutan alam Semenanjung Kampar memiliki potensi kayu yang cukup tinggi, sekitar 280 m3 per hektarenya. Terdapat kekayaan flora seperti pohon Ramin (gonystylus bancanus Kurz) yang dilindungi CITES dan meranti lilin (shorea teysmaniana Dyer) dan 32 spesies lainnya. Selain itu dengan rata-rata persentase tutupan tajuk sebesar 76 persen, wilayah ini tergolong sangat baik dan berguna melindungi habitat binatang arboreal maupun regenerasi permudaan alami (semi tolerant).
Satwa harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), ikan arwana, buaya muara dan beruang madu merupakan spesies yang potensial di Kampar selain 21 jenis lainnya yang dalam bahaya pemusnahan lokal karena maraknya konversi di lanskap Kampar ini.
Laporan penilaian teknis “Setting Priorities for the Conservation and Recovery of Wild Tigers: 2005-2015″ yang diterbitkan WCS, WWF, Smithsonian dan NFWF-STF mengidentifikasikan Kuala Kampar sebagai satu Lanskap Konservasi Harimau Kelas II. Lanskap ini memiliki habitat memadai untuk 50 harimau, tingkat ancaman yang sedang, dan basis untuk konservasi yang perlu perbaikan.
Sosial Masyarakat
Masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Semenanjung Kampar diperkirakan berjumlah 27 ribu jiwa. Mereka tersebar di 26 desa. 14 desa berada di Kabupaten Siak dan 12 desa di Kabupaten Pelalawan. Berdasar etnis, masyarakat yang mendiami kawasan didominasi oleh Suku Melayu sebesar 70 persen, Suku Akit 15 persen dan sisanya Jawa, Minang, dan Bugis. Suku yang paling lama mendiami kawasan ini adalah Suku Melayu dan Suku Akit. Suku Akit dapat dijumpai di Desa Sungai Akar, Desa Mengkirau dan Desa Mengkopot. Masyarakat di Kecamatan Teluk Meranti sudah mendiami sisi selatan kawasan sejak 1918-an.
Sejak tahun 1960-an seiring dengan komersialisasi hutan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan ini mulai memanfaatkan kayu sebagai sumber ekonomi. Tercatat hampir 90 persen kepala keluarga bekerja sebagai logger. Namaun sejak tahun 2007 masyarakat mulai menghentikan aktivitasnya seiring dengan semakin gencarnya pemberantasan illegal logging yang dilakukan pemerintah dan penagak hukum. Masyarakat pun mulai kemballi pada usaha sebelumnya. Ketergantungan mata pencaharaian masyarakat yang sangat lama terhadap hasil hutan kayu menimbulkan kesulitan tersendiri dalam mencari alternatif ekonomi.
Scale Up, lembaga yang aktif meningkatkan peran pembangunan berkelanjutan yang berbasis di riau pernah melakukan penelitian tentang ketergantungan masyarakat tempatan terhadap hutan Semenanjung Kampar. Menurut survey, mata pencaharian sebagian besar masyarakat dari sekitar 33 ribu orang tergantung seluruhnya atau sebahagian pada hutan di Semenanjung Kampar. Penduduk di desa-desa di sisi utara aktif menggunakan hutan untuk berburu, membuat arang, memancing dan pertanian skala kecil. Sementara sebagian kecil menambah pendapatan dengan upah bekerja pada pemegang konsesi seperti di bidang eksplorasi minyak dan gas, pembalakan dan perkebunan.
Sebagian besar masyarakat dengan wilayah adat di sisi selatan telah dipindahkan ke sisi lain dari sungai Kampar. Pemindahan ini merupakan bagian dari program pemerintah untuk memberi layanan publik dan koneksi jalan. Semua komunitas ini bagaimanapun masih menggunakan secara ekstensif terhadap wilayah mereka di Semenanjung untuk pertanian, kebun karet, berburu, memancing, hasil ekstraksi hutan bukan kayu, mengakses kayu dan uang dari hasil panen.
Meski peta yang terperinci tentang sistem masyarakat pengguna tanah saat ini masih kurang, survey awal Scale Up menunjukkan bahwa masyarakat menggunakan sebagian besar dari kawasan Semenanjung. Penggunaan yang paling intensif adalah di sekitar tepi semenanjung dan sungai-sungai yang membelah semenanjung hingga ke danau –Tasik Belat, Tasik Metas, Tasik Serkap, Danau Pulau Besar dan Bawah– sebagai pusat sumber perikanan sejak lama.
Secara umum masyarakat di Semenanjung Kampar masih mempertahankan sumber daya alam seperti hasil hutan bukan kayu, ikan, sumber air dan sebagainya. Sumber daya yang ada di hutan gambut dimanfaatkan dengan cara-cara tradisional yang lebih arif dan kurang eksploitatif dibandingkan dengan usaha perkebunan skala besar dan hutan tanaman industri (HTI). Mempertahankan ekosistem rawa gambut Semenanjung Kampar berarti satu upaya memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mengelola lahan dan sumber daya alamnya secara berkelanjutan dimana mereka tidak dimarginalkan dari tempat mereka bertahan hidup.
Koordinator Jikalahari Susanto Kurniawan dengan tegas berang atas pemberian izin HTI dan HPH di hutan rawa gambut Semenanjung Kampar. Menurutnya diberikannya izin konsensi HTI di Semenanjung Kampar hanya akan mengancam total 700 ribu hektare hutan gambut yang ada di Semenanjung Kampar. Dampak dari kebijakan tersebut menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem dan manusia seperti kebakaran hutan, banjir, dan pemanasan global. Yang sangat mendesak untuk dilakukan menurut dia adalah agar semua pihak terus berusaha melindungi kawasan gambut yang masih tersisa dari kawasan tersebut. “Sebab di Semannjung Kampar terdapat kekayaan ekologi, budaya dan ekonomi masyarakat yang tak ternilai.” ujar Susanto.
Tak hanya Susanto, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau Hariansyah Usman juga menyayangkan pemberian izin konsesi HTI ini. Menurut pria yang akrab disapa Kaka ini penyelamatan hutan rawa gambut harus dalam kerangka pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Masyarakat harus menjadi aktor utama pengelolaan hutan, bukan sekedar melibatkan masyarakat. Menurut Kaka sepanjang tiga dasawarsa pengelolaan hutan paradigma yang dipakai adalah mengedapankan kekuasaan negara yang memandang hutan sebagai unit ekonomi bagi keuntungan jangka pendek, berorientasi pasar ekspor dan hanya berbasis pada produksi kayu. ” Masyarakat harus menjadi faktor utama sebagai pengelola hutan yang diusahakan pada lahan milik negara,” tutur Kaka.
IRA GUSLINA