World Teacher’s Day dan Sebuah Pesan dari Kartini

world-teachers-day

Hari ini, saat bangun pagi dan menyelesaikan beberapa kewajiban pagi, seperti biasa saya menyempatkan diri berselancar di dunia maya. Salah satu yang menyedot perhatian saya adalah status seorang kawan. “Selamat Hari Guru Sedunia”

Woo, jujur saya baru tahu tentang adanya hari guru sedunia ini. Rupanya, UNESCO sudah menetapkan World Teacher’s Day jatuh pada 5 Oktober ini sejak 1994.

Dulu ketika kecil, saya pernah bercita-cita menjadi guru. Cita-cita ini bertahan hingga SMA. Ketika masuk universitas, pilihan kuliah di salah satu jurusan Fakultas Ilmu Kegurusan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) masih masuk dalam pilihan saya. Tapi ya bukan pilihan pertama. Dan memang belum berjodoh karena akhirnya saya diterima pada pilihan pertama di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik.

Saat itu, saya masih memahami bahwa tugas seorang guru adalah tugas yang mulia. Mengajar sekaligus mendidik generasi penerus bangsa. Bahwa menjadi guru, bisa menjadi inspirasi dan panutan untuk ditiru dan dicontoh oleh generasi penerus. Menjadi guru bagi saya adalah pekerjaan yang kesenangannya tiada putus.

Setelah di dunia kerja, saya menyadari bahwa menjadi guru tak mesti berada di lingkungan formal. Toh meski tak di balik tembok sekolah banyak orang yang bisa berperan menjadi guru, guru untuk lingkungan dalam beragam kegiatan sosial. Dan setelah berumah tangga dan memiliki anak, mata hati saya benar-benar terbuka bahwa peran guru sesungguhnya itu ada di rumah. Bersama anak-anak.

Saya jadi teringat dengan tulisan Mba Inne Ria di website Kumpulan Emak Blogger berjudul Pendidikan dan Cuti Tahunan. Di sana Mba Inne menyebutkan tentang pentingnya pendidikan karakter bagi anak. Bahwa orang tua tak hanya cukup mengandalkan pendidikan formal saja.

Saya setuju dengan Mba Inne. Justru waktu terbanyak anak ada di rumah. Bersama orang tua. Bahkan pendidikan dan pengetahuan pertama anak didapatkan dari rumah. Lalu apakah saya harus menjadi seorang guru untuk bisa mendidik anak-anak?

Tidak. Tentu saja tidak. Saya tak perlu menjadi guru. Yang saya perlukan adalah menjadi Ibu. Ibu yang mengajarkan nilai kehidupan pada anak-anak. Ibu yang memberi teladan, ibu yang bisa menjadi panutan, dan ibu yang bisa menjadi tempat mereka bertanya dan belajar banyak hal tentang dunia.

Nah, untuk bisa menjadi ibu haruskah saya punya ijazah seperti halnya seorang guru yang harus punya ijazah untuk bisa mengajar di ruang kelas? Haruskan seorang Ibu itu pintar? Toh pada akhirnya ia tetap akan mengurus rumah, mengatur keluarga, belanja, masak, membersihkan rumah, dan sederet tugas rumah lainnya. Lalu untuk apa seorang ibu pintar?

Hmm, barangkali memang ada yang berpikir menjadi ibu tak perlu berpendidikan tinggi. Tapi menurut saya, sebagai ibu kita tetap perlu membekali diri dengan pendidikan. Menjadi terdidik untuk bisa mendidik. Menjadi well educated.

Menjadi guru dan ibu
Menjadi guru dan ibu

Apa iya menjadi Ibu harus kudu pintar?

Iya benar. Pertanyaan ini pasti sering dijumpai. Saya sering mendengar bisik-bisik tetangga yang membicarakan seorang ibu rumah tangga yang masih memilih melanjutkan kuliah atau sekadar kursus ini dan itu. Lalu beberapa tetangga lain berbisik “menghabiskan uang saja, kalau pada akhirnya Cuma di rumah untuk apa sekolah tinggi-tinggi.”

Hoho,, agak miris mendengarnya. Tapi begitulah faktanya. Meski sekarang kita sudah tak lagi di zaman penjajahan tetapi masih saja ada yang berpikir sempit bahwa menjadi ibu rumah tangga tak perlu sekolah. Bahwa sekolah dan pendidikan tinggi hanya diperuntukkan untuk mereka yang akan dan ingin bekerja. Padahal menurut saya, justru menjadi seorang ibu merupakan tugas maha berat sehingga perlu dibekali dengan pendidikan yang cukup.

Kenapa menjadi Emak saja kudu pintar? Setidaknya menurut saya ada beberapa alasannya.

  1. Agar bisa mendampingi si kecil saat mengerjakan PeEr

Ya menjadi teman bicara, termasuk dalam mendapingi anak-anak belajar di rumah. Meski tak lagi duduk di bangku sekolah, menurut saya seorang Ibu juga perlu mengupgrade ilmu. Misalnya dengan turut membaca buku pelajaran anak-anak. Hal ini diperlukan agar bisa mendampingi anak-anak dalam mengerjakan pekerjaan rumah.

Saat ini kita sering mendengar keluhan beberapa ibu yang kesulitan saat ditanya anak mereka mengenai beberapa pertanyaan yang diberikan dalam pekerjaan rumah. Sebenarnya hal ini bisa diatasi bila orang tua khususnya ibu turut belajar bersama anak.

Kakak saya punya anak yang sekarang sudah duduk di kelas 4. Saya sering mendapati kakak ini membaca buku paket dan buku pelajaran si sulung. Dia begitu tekun seperti halnya seorang siswa. Ketika saya tanya dengan enteng menjawab, “Ibunya juga harus baca buku biar nanti pas si kakak nanya bisa tahu jawabannya,” ujar dia sambil nyengir kuda.

Nah saya kira, betul juga. Sebagai ibu tetap perlu membaca. Termasuk juga upgrade ilmu biar jadi lebih tahu.

 

  1. Agar bisa menjadi teman bicara yang nyambung dengan anak

Harus diakui, saat ini pengetahuan dan daya tangkap anak-anak menjadi lebih baik dibanding anak-anak zaman dulu. Mereka lebih banyak bertanya dan tertarik dengan hal baru. Karena itu seorang Ibu perlu membekali diri dengan pengetahuan ini dan itu supaya bisa menjadi teman diskusi yang asyik buat anak-anak.

Sudah sering kita lihat kasus, anak-anak yang enggan bicara dengan orang tua mereka karena merasa tidak ‘nyambung’. Jangan sampai gab pengetahuan dengan anak menjadi jurang pemisah tak kasat yang bisa mengurangi kebersamaan di rumah

 

  1. Agar tak mudah dikibuli

Nah ini dia. Betapa kita sering melihat orang tua yang diam-diam dikibuli oleh anak meraka hanya karena ketidaktahuan orang tua. Di rumah si anak terlihat baik dan penurut dan di luar rumah menjadi sangat tak terprediksi. Bahkan di rumah pun juga begitu.

Misalnya, saat si anak bermain game, atau menggunakan computer. Karena ketidaktahuan Ibu, si anak mengaku sedang belajar atau mengetik sesuatu. Padahal ia tengah berselancar di dunia maya dan berinteraksi dengan bebas bersama orang asing di sana. Si ibu senang melihat anaknya makin mahir menggunakan computer, padahal ada hal lain yang tak ia ketahui tentang apa yang dikerjakan si anak dunia maya.

 

Banyak memang rintangan untuk menjadi Ibu saat ini. Menjadi ibu sekaligus guru untuk anak-anak di rumah.  Tantangan ini pula yang rupanya sudah ditangkap oleh Raden Ajeng Kartini dulunya.

Makin ke sini saya makin mengerti mengapa Ibu Kartini begitu ingin agar perempuan Indonesia, para ibu tetap harus membekali diri dengan pendidikan. Menjadi terdidik agar bisa mendidik.

Dalam sebuah surat yang ditulis Ibu Kartini pada seorang professor bernama Anton, ia dengan terbuka mengemukakan betapa pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan dan juga para ibu. Surat yang ia tulisa pada 4 Oktober 1902 sungguh menjadi pengingat yang sangat hebat bagi ibu-ibu zaman sekarang untuk terus memperkaya diri.

 

Berikut petikan surat Ibu Kartini.

“Apabila kami di sini minta, ya mohon, mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini.”

“Melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik umat manusia yang utama,”

Raden Ajeng Kartini, 4 Otkober 1902

Selamat Hari Guru Sedunia.

Selamat menjadi Ibu bahagia.

29 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *