[Masih Tentang] Mengadopsi Feature untuk Blog

mengadopsi-feature-untuk-blog-2

 

Pekan ini mulanya saya berencana menyiapkan artikel tentang memulai cerita atau biasa disebut lead. Rupanya, beberapa temans mengirim pesan japri mengenai gaya penulisan feature untuk blog yang sudah dibahas pekan lalu.

***

Ada yang bertanya, apakah untuk sebuah feature diperlukan kemampuan untuk menulis sastra? Ada juga yang bertanya mengenai tulisan seperti apa yang layak disebut feature.

Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya berubah pikiran tentang tema #JumatMenulis kali ini. Baiklah kita akan lanjutkan diskusi pekan lalu mengenai feature saja ya temans. Mudah-mudahan bisa tuntas.

Buat temans yang baru mengikuti #JumatMenulis silakan mampir dulu ke postingan pekan lalu.

Dalam postingan “Mengadopsi Gaya Penulisan Feature untuk Blog” yang dibahas pekan lalu, saya sudah memberi batasan, kita hanya membahas mengenai penulisan Feature untuk blog. Sebab, bila menyinggung Feature jurnalistik pastilah akan terhukum kaidah baku dan sederet kode etik yang menjadi pembeda profesi jurnalis dan penulis blog seperti kita. 🙂

Baca : Mengadopsi Gaya Penulisan Feature untuk Blog

Feature untuk BlogKetika mula belajar menulis serius di pers kampus dulu, salah satu materi pendidikan dan pelatihan yang saya suka adalah ragam feature. Saya merasa punya ruang berkreativitas lebih lewat tulisan feature.

Kemudian, dalam kesempatan pelatihan lebih lanjut, redaktur senior Tempo, Amarzan Lubis yang membimbing kami, mengingatkan saya akan satu hal. Pesan itu terpatri dengan kuat di kepala hingga kini.

“Menulis feature itu bukanlah tentang menulis bertele-tele. Jangan terjebak pada detail tak perlu yang membuat tulisan melebar. Fokus utama feature adalah deskripsi, sebuah artikel yang bertutur.”

Amarzan Lubis

Kurang lebih begitu pesan Bang Amarzan. Dalam kesempatan pelatihan lainnya, masih dengan pemateri yang sama, lagi-lagi ia mengingatkan untuk menghindari detail yang bertele-tele.

Iya benar. Saya ingat kenapa Bang Amarzan menegaskan mengenai detail ini. Alasannya, beberapa di antara kami peserta pelatihan, termasuk saya, menyodorkan sebuah karya feature yang dia sebut bertele-tele.

Menurut dia, kesalahan penulis pemula biasanya menganggap feature sebagai artikel yang seolah-olah seperti karya sastra. Padahal bagian utama sebuah feature adalah deskripsi atas suatu peristiwa yang disampaikan dengan luwes seperti sebuah cerita.

“Feature yang bagus dimulai dengan deskripsi. Sebuah artikel bertutur. Paragraf ketiga sudah bisa memunculkan hal unik yang menjadi inti cerita”

Bagaimana agar bisa fokus dan terhindar dari jebakan bertele-tele?

Menurut saya, kuncinya hanya satu. Setialah pada ide utama tulisan.

Memang, ketika menulis, ketika berada dalam satu peristiwa, atau ketika melakukan perjalanan, ada banyak hal di sekitar kita yang menarik untuk diceritakan ulang pada pembaca. Namun, tak semua detail itu berkaitan dengan cerita atau kisah yang sedang kita tulis.

Setia pada ide utama tulisan adalah jalan paling benar dalam mengawal tulisan agar tak melebar. Menulis feature sama dengan membidik gambar di tengah keramaian. Bayangkan saja, ada begitu banyak peristiwa yang terjadi dalam sekali waktu.

Ketika kita sudah putuskan mengambil gambar kupu-kupu sedang mengisap madu bunga, maka detail lain di sekitarnya menjadi tidak penting.

Detail yang dibutuhkan barangkali hanya seputar bunga, kelopak bunga, kupu-kupu, hembusan angin di sekitar bunga. Sedangkan kumbang yang juga mampir pada kuntum bunga di sebelahnya menjadi tidak relevan untuk diceritakan.

feature-perempuan-tua-dan-anjingnya

Foto di atas merupakan salah satu contoh bagaimana kita menjaga untuk setia pada ide utama tulisan. Ketika memutuskan akan menulis cerita mengenai “Perempuan Tua dan Babinya”, maka beberapa detail yang dibutuhkan dari foto tersebut adalah:

  • Apa yang dibawa si nenek tua, berapa beratnya
  • Berapa lama ia sudah berjalan, ke mana tujuannya
  • Siapa nama babi itu. Sudah berapa lama ia bersama nenek tua itu
  • Kenapa mereka berjalan kaki
  • Apakah babi sedang mengandung? Berapa usia kandungannya.
  • Apa bahan tali yang dipakai untuk mengikat babi
  • Kenapa kaki babi juga diikat dengan kain biru, padahal sudah ada tali kekang.

Kurang lebih begitu. Tentu saja, segala detail yang sudah kita list tadi hanya pelengkap dari informasi utama yang ingin disampaikan. Dan informasi utama tentu saja diperoleh setelah kita berkorespondensi dengan si nenek tua.

Lalu, apa ya temans yang jadi penentu sebuah artikel bisa disebut feature?

Elemen Feature

Agar artikel layak disebut feature, setidaknya ada 4 elemen utama yang harus dipenuhi.

  1. Kreativitas

Unsur kreativitas ini nih yang paling saya suka. Feature memungkinkan kita memperlakukan naskah seperti sebuah cerita. Kita bisa memulainya dengan beragam cara. Kreativitas diperlukan agar pembaca tak mudah bosan. Apalagi bila artikel yang kita tulis tentang sebuah peristiwa yang tak lagi ngehits.

Misalnya dimulai dari sebuah percakapan atau kutipan yang kuat. Bisa juga dimulai dari deskripsi pandangan mata. Artikel tentang kuliner juga bisa banget lho dikemas dengan gaya feature.

Salah satu cara menghidupkan sebuah artikel peristiwa seperti perjalanan atau reportase adalah dengan membuat rekonstruksi.

Yuk temans kita coba mengeksekusi sebuah pengantar artikel feature dari ilustrasi peluncuran kampanye Indonesia Sehat oleh Menteri Kesehatan yang pekan lalu sudah kita munculkan

Ilustrasi :

Temans sedang meliput peluncuran kampanye Indonesia Sehat. Peluncuran ditandai dengan pelepasan balon dan pemotongan pita oleh Ibu Menteri Kesehatan. Sesaat sebelum pelepasan secara resmi, tiga balon pecah. Suasana menjadi riuh rendah.Selain pelepasan balon, peresmian juga ditandai dengan pemotongan pita.

Bila diramu dalam sebuah artikel feature, ilustasi ini bisa menjadi.

Dar! Dar! Dar!

Suara letusan tiga balon memecah keheningan. Setengah terperanjat, Ibu Menteri Kesehatan yang berdiri tak jauh dari gerombolan balon itu segera mendekat.

“Wah, rupanya balon-balonnya tak sabar untuk dilepas ya. Mari kita resmikan saja,” ujar Ibu Menteri Kesehatan. Hadirin menjadi riuh rendah. Panitia yang sempat kaget karena merasa ada kesalahan jadi bernafas lega.

Ibu Menteri lalu meminta gunting yang sudah disiapkan panitia. “Ayo kita hitung bersama. Satu, dua, tiga!”

Dengan cekatan, perempuan berdarah Ambon itu memotong pita. Gerombolan balon yang terikat pada pita sama pun ikut terlepas. Blass… Terbang bebas membumbung tinggi ke udara.

Tepuk tangan  segera membahana. Diiringi dentuman dram yang ditabuh lima pemuda. Pelepasan balon dan pemotongan pita menjadi penanda dimulainya Kampanye Indonesia Sehat yang akan berlangsung sepanjang September.

***

Soal kreativitas, tentu temans lebih jago. Apalagi kalau sudah terbiasa membuat karya fiksi. Temans bisa mengabungkan keduanya. Hal paling utama adalah menajamkan panca indera.

Hanya saja, untuk sebuah karya non fiksi, fakta dan realitas adalah hal utama. Fakta ini menjadi pembeda utama dengan karya fiksi.

fokus-pada-penulisan-feature
kreativitas bisa menghidupan cerita yang diangap usang sekalipun
  1. Subjektivitas

Dalam artikel feature boleh banget lho temans kita memasukkan unsure emosi, dan pikiran ke dalam tulisan. Apalagi untuk sebuah artikel blog. Karena pada dasarnya artikel blog adalah sudut pandang personal kita terhadap sebuah kejadian bukan?

Memasukkan unsur subjektivitas ini memungkinkan penulis menyentuh hati pembaca dengan memasukkan unsur human interest dalam tulisan. Beberapa hal yang bisa dikategorikan memiliki unsur human interest adalah

– wealth (kesejahteraan)
– health (kesehatan)
– crime (tindak kriminal)
– disaster (bencana)
– misteri
– unik
– sex and beauty (seks dan kecantikan)

Contoh :

Tulisan perjalanan ke Kampung Nelayan Muara Angke ini barangkali bisa dibaca untuk sekadar referensi.

Matahari merayap turun ketika saya dan keluarga tiba di kampung nelayan Muara Angke akhir Desember lalu. Hari itu kami berjalan-jalan menikmati udara laut. Saya ingin mengajak si kecil ke pasar ikan segar dan melihat kapal dari dermaga.

Memasuki daerah tujuan, aroma laut langsung terasa. Si sulung Bintang begitu antusias. Ketika sampai di kantor pemadam kebakaran Muara Angke, kami berbelok ke kiri. Sebelum nongkrong di dermaga, kami berkeliling ke kampung nelayan.

Sudah lama saya tak ke sana. Terakhir kali awal 2011, saat masih baru di Jakarta dan rajin  menjelajah sudut Ibu Kota. Ketika datang hari itu suasana sudah jauh berubah. Jalanan relatif lebih bagus dengan got terlihat lebih bersih.

Artikel lengkapnya bisa diklik di sini :

Perjalanan ke Kampoeng BNI, dan Impian Turut Membangun Negeri

3. Menghibur

Menurut Bang Amarzan, feature itu tend to entertaint than to inform.

Eits, tapi bukan berarti feature mengabaikan nilai informasi ya temans. Yang dimaksud dengan tend to entertaint bahwa artikel yang kita sajikan memberikan nilai lain pada pembaca.

Menghibur tak selamanya berarti membuat senang lho. Bisa juga membuat jeda atau pembaca menjadi rileks. Dengan penyajian yang ringan, pembaca bisa mendapat sudut pandang berbeda dari suatu peristiwa. Dia menjadi bacaan senggang yang bisa dinikmati kapan saja.

Tips mudik Nyaman
Artikel feature tak membebani pembaca

4. Awet

Artikel feature itu awet. Karena penulisannya lebih mengutamakan human interest dan mengabaikan aktualitas, feature bisa dibaca kapan saja. Itulah kenapa artikel feature biasanya hanya diterapkan pada materi yang lesstime. Misalnya artikel perjalanan, reportase tempat, rekonstruksi kejadian penting dan bersejarah, tik

“Tulisan feature yang bagus adalah yang bisa dibaca lebih dari satu kali”

Amarzan Lubis

Tulisan Mas Andhika di blog Andhikamppp.com berjudul Satu Tahun yang Lalu barangkali bisa menjadi contoh.

Artikel ini menjadi contoh bagaimana kreativitas bisa menghidupkan kembali peristiwa setahun lalu agar tak ketinggalan. Dalam tulisan ini, penulis merekonstruksi kembali peristiwa saat istrinya akan melahirkan.

Di luar kalimat-kalimat yang menurut saya bisa dibuat lebih efektif, gaya penceritaan artikel ini bisa jadi bahan bacaan. 🙂

***

Satu Tahun yang Lalu

“Sudah pembukaan empat, Pak” perawat berusaha menjelaskan setelah berulang kali aku menanyakan kondisi istri yang saat ini sedang terbaring di unit gawat darurat.

Beberapa menit yang lalu aku menerobos masuk pintu rumah sakit meminta pelayanan terbaik untuk istriku yang sejak sore tadi merasakan nyeri luar biasa di perutnya. Untunglah tidak terlambat. Taxi yang kupesan datang tepat waktu. Jalanan kota yang sepi membuat perjalanan dari rumah ke rumah sakit bisa ditempuh kurang dari sepuluh menit.

“Silakan Bapak pulang dulu untuk membawa perlengkapan. Kami akan membawa istri bapak ke ruang persalinan. Mungkin harus menginap dua-tiga hari. Tak usah terburu-buru, Pak. Masih banyak waktu. Jika lancar, mungkin tujuh sampai delapan jam lagi” perawat itu dengan tenang menjelaskan.

Aku tersenyum, menunjuk ke arah kursi yang sudah aku duduki satu jam terakhir

“Sudah saya bawa, Mbak”.

Selengkapnya silakan baca di sini http://andhikamppp.com/2016/04/satu-tahun-yang-lalu/

Bagaimana dengan panjang tulisan?

Nah, karena feature adalah sebuah tulisan bebas, tak ada patokan mengenai panjang naskah. Bisa hanya 5 paragraf, bisa juga sampai berlembar-lembar halaman Microsoft word.  Tidak ada batasan, selama masih menarik. Dan tentu saja tidak bertele-tele.

So selamat mencoba temans. Oya, tentu saja tak semua artikel pada blog temans harus dibuat dengan gaya feature. Ini hanya untuk pedoman, bila sewaktu-waktu teman menemukan momen yang pas.

Sekian dulu untuk pekan ini. Menulis artikel ini bener-bener membuat saya makin terpacu untuk terus belajar lagi, Yuk ah temans, mari kita belajar terus.

Keep Upgrading!

Keep Writing!

***

Baca juga

30 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *