[CERPEN] Derai-Derai Senja
|
Matahari kian renta. Menyisakan aura jingga yang makin tak kentara di ujung-ujung langit. Ratusan jalak berarakan menuju arah Rimbang Baling, sebuah kawasan yang entah masih pantas disebut daerah konservasi atau tidak.
Selentingan terlihat badan-badan gempal penuh daki turun dari sebuah truk tua tak jauh dari tempat aku duduk.
Seperti biasa senja itu aku duduk di depan rumah tua yang kini tak lagi berpenghuni. Letaknya persis di sebelah rumahku. Kata Mak, dulu rumah itu ditempati oleh tetua adat suku kami.
Suatu hari Belanda datang dan membunuh siapa saja yang ditemuinya. Keluarga yang lainnya sempat mengungsi sedangkan si Penghulu harus meregang nyawa ketika bedil Belanda itu tepat mengenai ulu hatinya.
Mataku kembali tertumbuk pada lelaki-lelaki yang turun dari truk sarat muatan. Wajah-wajah keletihan memburat tiada dapat dibendung. Ada rona sedih, dan rona gembira di sana.
Mungkin sedih karena harus menanggung beban hidup yang besar, gembira karena mereka pulang tidak dengan tangan kosong. Di belakang truk itu telah berjejer balak-balak berukuran sepelukan orang dewasa. Bahkan aku pikir ada yang ukurannya lebih dari itu.
Dari wajah-wajah itu aku mencari sesosok wajah. Wajah yang begitu aku kagumi. Yang di dalam dirinya kutemukan tempat berlindung dan mengadu. Biasanya kalau para pencari-pencari balak itu datang dia akan turun di barisan depan. Seperti yang berlangsung dua tahun yang lalu. Ya, dua tahun lalu tepatnya sebelum kejadian naas di tengah hutan menimpanya.
******
“Kayu akan rebah. Menyingkirlah semua, cari tempat aman!” Bang Ahmad berseru dengan suara sengaunya yang lengking.
Tanganku ditarik Ayah bergerak menjauhi bang Jal yang tengah menahan laju mesin cinsaw di tangannya. Mesin seberat 20 kilo itu segera menari di antara serat-serat mahang yang kini siap direbahkan. Hanya Bang Jal satu-satunya manusia yang masih berada di dekat Mahang besar itu. Ayah, aku dan pekerja lainnya sudah mengambil jarak sekitar 15 meter.
Mesin cinsaw segera meraung-raung, memecah kesunyian hutan Rimbang Baling. Dengan laju yang tertahan-tahan sekitar sepuluh menit Bang Ijal berhenti. Enam kawannya termasuk ayah segera mengambil tali yang sebelumnya sudah diikatkan ke ranting pohon.
“Mari kita hitung sama-sama, hitungan ketiga kita mainkan” Ayah berteriak memberi komando.
Segera kawanan itu bergerak sesuai komando. Kkraaakkk…praakkk…mahang itu berderit dan tumbang ke arah barat. Berseberangan dengan tempatku berdiri. Senyum bahagia terpacak di wajah-wajah keletihan itu.
Kualihkan pandangan pada ayah. Ia sibuk menyeka keringat di wajah dengan ujung baju kaos biru kucelnya.
Selanjutnya tanpa dikomando enam orang itu langsung mendekati kayu yang baru saja rebah. Bang Jal sudah siap kembali dengan cinsawnya. Mesin itu kembali beringas mencincang-cincang mahang hingga menyisakan batangnya saja. Ranting dan daun dipotong dan dibuang oleh pekerja yang lain.
Aku memperhatikan semua kegiatan itu dengan seksama. Entah kenapa kalau libur aku paling suka pergi dengan ayah ke hutan. Padahal berkali-kali Mak melarangku pergi.
“Kamu anak perempuan Una, tak baik ikut ke hutan mencari kayu” kata Mak setiap kali aku minta izin ikut Ayah.
Tapi untunglah Ayah membolehkan aku pergi dengan syarat kalau aku sedang libur sekolah. Aku berteriak dan berputar-putar penuh bahagia. Izin yang diberikan ayah membuat pikiranku melambung.
Sebenarnya aku ingin pergi bukan karena ingin melihat orang bekerja. Aku hanya ingin pergi ke hutan, menyusuri semak-semak tak bertuan, itulah yang aku suka. Aku sangat suka pergi menjelajah dan berpetualang ke rimba raya. Apa lagi kalau kami harus pergi merintis hutan untuk mencari lokasi yang banyak kayunya.
“Hai Una mengapa engkau mematung di situ, nanti dimasuki penunggu hutan. Kesinilah berkumpul bersama kami” bang Ahmad meneriakiku. Suaranya yang sengau membuat pikiran jahatku keluar.
“Ya, bang ahmad,” balasku dengan suara yang disengau-sengaukan.
Kulihat muka bang ahmad langsung cemberut. Dan benar ketika aku mendekat ia langsung mencubitku. Tanganku langsung mati rasa seperti baru digigit semut. Tapi aku tak jera, kembali kutirukan suaranya yang sengau, lalu aku berlari menghindar dan tak lupa tertawa cekikikan tentunya. Pekerja yang lain ikutan tertawa melihat tingkahku dan wajah Bang Ahmad yang cemberut.
Pekerjaanpun segera dilanjutkan. Dengan sigap tangan-tangan kekar itu maliuk-liuk memasangkan tali besar seperti tambang kapal ke badan mahang. Dalam hitungan menit saja mahang itu sudah terikat kuat. Bang Ismet dan Bang Pendi segera bergerak keluar hutan meninggalkan kami sembari membawa ujung tambang yang lainnya.
Uooouuu, uooouuuu, tiruan suara Siamang dari mulut Bang Ismet dan Bang Pendi kemudian membelah siang yang mulai terik. Itu pertanda ujung tambang sudah terikat ke badan truk kami yang sudah menunggu di luar hutan.
“Baik dongkraknya sudah terpasang, berarti kayu ini sudah bisa ditarik” Ayah kembali bersuara.
Setahuku walau tidak pernah ditunjuk sebagai pemimpin rombongan itu, pekerja yang lain percaya dengan perintah Ayah. Jadi secara tidak langsung ayahlah pemimpin di rombongan itu.
Uooouuu, uooouuuu… ayah kemudian mengeluarkan suara siamang. Kata Bang Yusuf itu pertanda bahwa kayu sudah bisa ditarik.
Benar saja, tak lama kulihat mahang itu bergerak perlahan. Membelah semak-semak, menghantam onggokan tanah. Sesekali lajunya terhenti karena menumbuk kayu yang lain. Kalau sudah begitu Bang Jal akan dengan sigap menarikan mesin cinsawnya. Sedang yang lain membersihkan penghalang yang lain.
Kami mengikuti laju kayu dari belakang. Sesekali aku melompati kayu yang berjalan pelan itu. Setiap aku melompat, setiap itu pula Ayah akan mempelototi aku. Aku bahagia bisa menggoda ayah di tengah hutan Rimbang Baling yang angker. Namun, tanpa terasa truk yang kami bawa dari Kapau sudah berada di hadapan mata. Hanya dipisahkan sebuah tebing yang agak curam. Inilah episode yang paling menegangkan dari drama pencarian balak yang tengah kami mainkan. Wajah-wajah tegang langsung terpacak di muka enam pekerja itu.
“Pendi kuatkan ikatannya, dan gas truk itu dengan kencang” teriak Ayah
“Ya Bang akan segera aku lakukan”
“Yang lainnya Bantu aku meluruskan arah kayu ini”
Merekapun kemudian mendorong kayu sekuat tenaga hingga membentuk sudut 180 derajat dengan arah truk. Tapi tiba-tiba saja kayu itu terangkat, bergerak memanjat tebing yang tingginya dua kali lelaki dewasa. Kami cukup gembira dengan kondisi itu berarti tak perlu lagi bersusah payah mendorong kayu itu hingga sampai ke atas tebing.
Saking gembiranya kami jadi lengah dan tak memperhatikan lagi gerak kayu. Tiba-tiba mahang itu meluncur kembali ke bawah. Ayah yang berada persis di bawah kayu tak melihat keadaan itu. Bang Yusuf yang ada di samping segera menarik ayah. Sayang, gerakan bang Yusuf terlambat sepersekian detik. Mahang itu sempat menumbuk punggung ayah. Ayah meringis, Bang Yusuf pun segera membaringkan ayah di tanah yang agak terbuka dan dataran.
Kondisi ayah sangat mengkhawatirkan. Ia meringis menahan sakit. Tanpa menunggu banyak waktu kami lekas-lekas menaikkan mahang itu ke truk. Lalu laju truk dipacu menuju kampung. Erangan mesin truk mendaki jalan berlumpur berpacu dengan rintihan ayah. Hingga akhirnya kami sampai ke Kapau.
Malang bagi Ayah, kata pak Buo, dukun di kampung kami, dua tulang punggung Ayah patah. Jadinya selama dua tahun ayah hanya bisa mendekam di rumah. Berteman sarung kotak merah yang hanya satu kali sebulan diganti. Aku tahu itu bukanlah lantaran Mak malas mengganti, tapi memang di rumah cuma ada dua sarung. Selama dua tahun inilah kami hanya hidup dari untung penjualan gorengan Mak yang dimasukkan ke warung-warung di Kapau setiap pagi.
*****
“Gimana Una, Engkau masih belum mau pulang?” seorang wanita separoh baya tiba-tiba berteriak ke arahku. Suaranya membuat aku sedikit bergeser dari posisi semula.
Belum sempat aku menjawab wanita itu segera berpaling. Kembali fokus pada pekerjaannya. Tangan kirinya memegang periuk yang hanya cukup menanak satu liter beras. Sedang tangan kanannya mengapit tempiyan berisi beras.
Kulihat kemudian Mak berjongkok, lalu duduk pada sebuah bangku kecil di dekat pancuran. Tangannya dengan lincah memilih kutu-kutu beras yang entah sudah berapa bulan lamanya hidup dan beranak pinak disitu.
Setahuku Mak terakhir membeli beras tiga bulan yang lalu ketika Haji Muis juragan Ayah waktu masih mencari balak dulu memberikan pinjaman pada Mak. Awalnya uang itu akan dipakai untuk membayar uang SPP ku. Sebentar lagi aku akan ujian naik kelas dua SMP. Tapi tidak jadi dipakai karena akhirnya aku memutuskan untuk berhenti saja sekolah.
Air mata Mak tak terbendungkan waktu aku bilang akan berhenti sekolah. Kata Mak dia akan mencari pinjaman yang lain. Tapi sudah keburu terlambat. Kawan-kawanku sudah ikut ujian kenaikan kelas, sedang aku tidak diperbolehkan mengikuti ujian oleh guruku sebelum melunasi uang pembangunan yang jumlahnya dua ratus dua puluh lima ribu rupiah.
Akhirnya aku tidak jadi ujian dan keluar dari sekolah. Tapi aku masih ingat saat itu Ayah bersikeras akan tetap menyekolahkanku kembali di madrasah.
“Ayah tak ingin nasibmu hanya berakhir jadi gadis kampong yang bodoh. Tahun depan kamu harus sekolah bagaimanapun caranya akan Ayah usahakan”.
Teriakannya begitu keras, keluar dari jiwanya yang dalam.
“Nanti kalau sudah sembuh ayah akan bekerja keras untuk menyekolahkanmu” ia melanjutkan dengan
nada yang sama. Aku tak bisa membantah. Dalam hati aku hanya mengaminkan ucapan ayah.
Bagaimanapun juga aku sebenarnya masih tetap ingin melanjutkan sekolah. Paling tidak sampai tamat SMP saja.
“Una, ayo lekas pulang”
“Bentar lagi Mak”
“Ayolah cepat ambil wuduk, Mak dengar orang sudah azan”
“Ya Mak, sebentar lagi”
Aku tidak segera beranjak dari ayunan tua itu. Suara azan Bang Awang sudah jelas membahana. Memenuhi seantero jagad Kapau. Akupun akhirnya memutuskan untuk pulang. Sebelum turun dari ayunan aku sempatkan juga melihat ke truk berikutnya yang datang.
Mataku kembali mencari seraut wajah di antara lelaki-lelaki kumal berdaki. Hampir tak satupun yang luput dari pandanganku. Namun tak kudapati yang kucari. Sendiku segera kacau, seribu rasa tumpah ruah. Bayangan buruk berkecamuk menghantui rongga di tubuhku. Aku beringsut meninggalkan ayunan. Dua langkah beranjak, tiba-tiba aku mendengar deru truk.
Segera kupalingkan wajahku. Senyum memburat di wajahku, Merekah menghiasi muka mungilku. Berharap dari truk itu turun orang yang sedang kunanti. Tapi kemudian aku tertunduk. Tak bersua apa yang kucari di situ. Aku berbalik, tiba-tiba Mak sudah berdiri di depanku.
“Sudahlah Una, ambillah air wuduk dan segera shalat. Jangan lupa doakan semoga ayahmu tenang berada di sisiNya. Mak tak suka kamu bermuram durja begini setiap sore. Ingat bahwa ayahmu sudah hampir dua bulan tenang di sana.”
Aku tak bisa mengelak. Kubiarkan saja Mak menuntun langkahku menuju pancuran di depan rumah. Tempat aku mengambil air untuk memandikan jenazah ayahku dua bulan yang lalu.
****
Keren Mba… sudah nulis cerpen juga ya sekarang.. Kalo aku dah lama banget gak nulis cerpen.. Sekarang ini aku lebih banyak nulis di blog aja dengan tema yang beragam..
Waduh…ternyata menceritakan kesedihan. Satu kata buat Una, kasihan. Semoga kita bisa berbakti selagi ayah ibu masih ada.