[Cerpen] Mantra Sentajo

 

Sentajo Dunia Biza Cerpen Budaya

 

Oooo. Lailahaillallah,
Muhammad Rasulullah
Datang dan kumbali pado Allah
Semuo diserahkan pado Allah

Belum sampai ke akhir, nandung itu sudah terhenti. Pendek sekali. Tidak seperti malam yang lampau. Biasanya bila perempuan itu sudah bernandung tak ada yang bisa menghentikan. Ia melantunkan berbait-bait nandung. Bergelas kopi, berlembar nipah, tak cukup banyak menemani malam-malamnya.

Hampir setiap malam, perempuan itu duduk di situ. Di balai-balai bambu dengan senderan setinggi pundak. Tak ada perabot. Hanya balai-balai kosong. Bila malam menjelang, di sanalah ia duduk. Bila ayam berkokok ia beranjak ke rumahnya, rumah kulit kayu beratap nipah.

Sejak Khalifah Duano, suami perempuan itu meninggal, penduduk kampung mengenalnya sebagai perempuan gila. Tak banyak yang tahu musabab perubahan tingkah perempuan itu. Kadang ia meracau, berteriak, bernandung, lalu merintih. Ia hanya larut dalam malam-malam panjang. Sayup-sayup dari erangan dan rintihannya terdengar suara aneh. Tak ada yang berani mendekat.

Awalnya penduduk mengkhawatirkan kesehatan perempuan itu. Lama-lama mereka lelah. Keanehan yang makin hari ditunjukkan perempuan itu membuat penduduk bosan. Apalagi tak ada anak dan keluarganya yang bisa dihubungi.

Penduduk menyerah. Membiarkan saja perempuan itu larut dalam dunianya. Menjadi perempuan gila.

***

Suatu siang, seorang lelaki datang ke kampung mereka, kampung Batu Hampar. Lelaki itu berbadan gempal. Rambut panjangnya yang ikal dibiarkan saja tergerai.

Kedatangan lelaki itu menarik perhatian penduduk. Beramai-ramai mereka memadati rumah kepala desa. Mencari tahu apa gerangan yang dicari. Di desa yang terisolir, tersisih dari gegap gempita pembangunan. Dari hiruk pikuk keramaian.

Lelaki itu mengenalkan diri sebagai peneliti budaya dari dinas kebudayaan dan pariwisata. Ia hendak mencari dua mutiara. Pemegang warisan yang berharga. Yang satu fasih bukoba, sastra lisan yang berisi berbagi cerita. Khalifah Duano namanya. Yang satunya lagi Sentajo, seorang perapal mantera. Tentu saja penduduk tahu siapa yang dimaksud. Sepasang suami istri yang pernah berharga.

Ketika masih hidup, Khalifah Duano dikenal bijaksana. Ia ramah dan berwibawa. Kepada siapa saja ia tak enggan bertegur sapa. Khalifah Duano juga terkenal dengan kepandaiannya. Ia piawai bercerita, memainkan kata-kata.

Bila ada pesta pernikahan Khalifah Duano biasa dipanggil. Ia diminta bercerita semalam suntuk. Menghibur tamu-tamu yang berdatangan. Satu malam ia bisa bertutur tentang satu cerita. Ada pula yang dua cerita. Cerita itu disampaikan dengan syair dan irama menggoda, dalam balutan sebuah koba. Koba Muda Cik Leman, Si Buyung Kocit, Gadih Mudo Cik Nginam, adalah beberapa di antara yang piawai ia tuturkan.

Koba yang paling disukai Khalifah Duano adalah Koba Siti Zubaidah. Berkisah tentang cinta sejati yang mempertemukan sepasang hati, Siti Zubaidah dan Zainal Abidin. Cinta itu begitu dalam hingga keduanya tak bisa dipisahkan, hingga ajal menjemput keduanya. Hampir di setiap pertunjukan syair-syair dan cerita tentang Siti Zubaidah ini ia perdengarkan.

Keahlian bukoba Khalifah Duano tidak menurun pada tiga anaknya. Menurut kepercayaan, bukoba memang tidak bisa diwariskan. Ia datang pada orang yang dikehendaki. Menurun melalui peristiwa ghaib. Terjadi setelah pertemuan tak berbilang. Biasanya waris itu tak akan lari pada anak. Tuturan atap jatuhnya ke pelembahan juga.

Lama Khalifah Duano membaca tanda alam. Berbilang bulan ia menunggu. Berkali-kali pula ia memberi pengertian pada ketiga anaknya. Ternyata ia kalah cepat dibanding pergerakan zaman. Ketiga anaknya memilih berhijrah ke Jakarta. Larut dalam gemerlap kota. Meninggalkan ia dan isrinya, Sentajo. Berdua saja tanpa anak tanpa saudara.

Sentajo Dunia Biza Cerpen Budaya

Sentajo adalah istri tertua Khalifah Duano. Istri keduanya, Martini, meninggal pada saat akan melahirkan. Ia tak terselamatkan. Begitu juga dengan anak yang dikandungnya. Sejak itu Khalifah memutuskan untuk mengakhiri sisa hidup bersama Sentajo, istri pertamanya.

Ada hal ghaib yang semakin mempertemukan ikatan kedua orang ini. Semakin mereka menghabiskan hari bersama-sama, ikatan itu semakin kuat. Tanpa disadari Sentajo mulai pandai membaca tanda. Dari hari ke hari, Sentajo makin mahir melafal mantera.

Mula pertama ia pertontonkan kemampuan itu, ketika suatu malam sepulang dari sebuah pesta, Khalifah Duano terserang sakit. Perutnya mual, dan kepalanya pusing. Sakit yang ganjil. Tak biasanya Khalifah menunjukkan gejala itu. Sebelum pergi pertunjukan, keadaan khalifah masih segar bugar.

Begitu Khalifah sampai di pintu rumah, Sentajo menyambutnya dengan senyum. Tetapi tiba-tiba, tubuh Sentajo menggelinjang. Matanya menatap tajam ke arah Khalifah. Ia tidak sedang melihat Khalifah. Ia melihat sesuatu yang asing. Sesuatu yang halus tapi menyerang. Di mata Sentajo, benda halus itu sedang menyerang pusat saraf Khalifah. Mengorek-ngorek tumpuan akar ingatan. Mencecar-cecar lapis-lapis kitab ingatan koba yang sudah tersimpan di alam bawah sadar suaminya.

Benda halus itulah yang membuatnya meronta. Seperti pertemuan dua magnet dengan kutub yang sama. Sentajo terkesiap. Ia tersadar. Benda halus itu sedang berusaha menghapus kemampuan bukoba Khalifah.

Mata Sentajo menatap tajam. Lurus, seperti hendak melompat dan mengejar makhluk itu. Ia bangkit, secepat kilat berlari ke dapur. Tangannya menyambar limau kapas dan sebilah pisau.

Khalifah terkesiap. Setengah sadar ia melihat perubahan yang terjadi pada diri istrinya. Tetapi kekuatannya semakin melemah, ia tak bisa menghindar. Ia pasrahkan saja nasibnya pada Tuhan.

Dari mulut Sentajo tiba-tiba keluar rapalan mantera. Air mukanya merah padam. Aliran keringat telah membanjiri tubuhnya. Sederet kata-kata pujian kepada sang pencipta. Ia meracau, menggelinjang setengah tak sadarkan diri. Tangannya mengancung-ancungkan pisau ke muka Khalifah, tetapi tidak mengenai. Hanya menggertak.

La illa allah Ha illaih
Barokat ia la ilaha illallah

Limau lah manih di topi jalan
Dulang berisi si bungo sambau
Tuan lain poilah jalan
Jangan singgah di toluk rantau

La illa allah Ha illaih
Barokat ia la ilaha illallah

Sentajo tersentak. Lalu tersungkur di lantai. Suasana hening. Angin kencang yang berhembus malam itu, menderak-derakkan daun pintu tempat dua manusia itu terkulai.

Beberapa saat berlalu. Khalifah dan Sentajo membuka mata. Khalifah merasakan tubuhnya kembali ringan. Rasa sakit yang ia rasakan, kini sirna. Ia heran. Tak percaya apa yang baru saja terjadi. Penuh selidik, Khalifah menatap mata Sentajo. Mencari jawaban atas apa yang terjadi.

“Iya. Itu terjadi begitu saja. Entah darimana datangnya, saya melihat guno-guno. Di sana, tepat di atasnya.” ujar Sentajo menunjuk lurus ke kepala Khalifah.

Khalifah mengerti. Lalu mengangguk pelan. “Berkat rahmat Allah. Ia masih melindungi kita. Dia telah memilihmu,” lirih Khalifah.

Tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut, Khalifah mulai paham, Sentajo telah mengalami perjalanan ghaib. Di tubuhnya yang mulai layu itu kini tersimpan kemampuan bawah sadar untuk merapal mantera.

Sejak kejadian itu, Sentajo sering menggali berbagai macam jenis pengobatan. Di bawah tuntunan khalifah, mereka mempelajari bermacam jenis penyakit. Satu persatu penduduk kampung menemui Sentajo, minta disembuhkan.

Rumah mereka yang kecil tak cukup luas lagi untuk menerima tamu yang datang. Karena itu Khalifah mendirikan sebuah balai-balai. Persis di depan rumah mereka. Di sanalah Sentajo mengobati setiap orang yang datang. Khalifah Duano dan Sentajo sama-sama terkenal. Nama mereka dikenal hingga ke kampung tetangga. Bila ada yang menikah Khalifah Duano diundang, dan bila ada yang sakit Sentajolah yang dicari.

Hari hari berikutnya, penduduk kampung sering melihat Khalifah dan Sentajo duduk di balai-balai. Kadang-kadang hingga tengah malam. Kalau tidak ada orang berobat, Sentajo dan Khalifah hanya saling berbagi cerita. Kalau tidak mendengarkan khalifah bukoba, berarti mendengarkan nandung. Selain mahir merapal mantera, Sentajo pun piawai bernandung. Nandungan kehidupan.

Suatu malam di bawah sinar purnama, Sentajo resah. Ia yang tengah bercerita dengan Khalifah di balai-balai mendadak gundah. Wajah Khalifah berubah pekat. Hati Sentajo berdesir. Setiap detik, kegelapan memakan tubuh Khalifah. Khalifah tersenyum. “Ikhlaskan Sentajo,” lirih Khalifah. Dan kegelapan itu telah membawa tubuhnya pada kesunyian.

Oooo. La ilahaillallah,
muhammad
rasulullah
Datang dan kumbali pado Allah
Semuo diserahkan pado Allah

***

Laki-laki kota itu terpaku. Kakinya terpasak kuat ke bumi, tak jauh dari sebuah rumah kayu. Dari tempat berdiri, ia bisa melihat dengan jelas air muka perempuan tua yang duduk di balai-balai. Mukanya tak lagi bersinar. Nandungan yang keluar dari mulutnya tidak jelas lagi. Hanya racauan.

Laki-laki kota itu lagi-lagi terpaku. Khalifah Duano telah pulang, membawa semua helai koba. Menghapus tafsir-tafsir tentang cerita. Dan Sentajo. Pusat ingatannya telah melayang. Terbang bersama menghilangnya Khalifah Duano.

Dan lelaki kota itu terlambat. Ia terlambat sebelum sempat mengumpul mutiara. Mutiara dari dua orang yang sirna. ***

Baca Juga  :

[Cerpen] Ujian untuk PUAN 

[Cerpen} : Rambu di Simpang Tiga

15 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *