Mencari [Hilangnya] Maryam

Hilangnya Maryam dan perkara-perkara lain

Sepuluh jam. Tak terasa sudah hampir seharian aku di kota ini. Menembus keramaian. Berpindah dari satu bangunan ke bangunan lain.  Menyodor-nyodorkan sketsa wajah yang kulukis sendiri pada sesiapa saja yang terjumpa.

“Maaf Tuan, apakah Anda pernah melihat wanita ini”

“Maaf nyonya, pernah melihat dia?”

Pertanyaan sama yang selalu kuajukan pada mereka yang berpapasan.

Dan tidak. Tentu saja tidak ada yang tahu. Semua menggeleng. Satu-satunya jawaban berbeda kudapatkan dari seorang perempuan paruh baya yang duduk di bawah beringin tua di alun-alun kota.

“Kau mencari dia, gadis cantik?” tanya perempuan itu.

Setengah tak yakin, aku menatapnya. Memastikan apakah pertanyaan itu memang ditujukan padaku atau perempuan lain.

“Hihiii…” Belum aku menjawab,  perempuan itu tertawa cekikikan. Dia lalu menunjuk-nunjuk persis ke jantungku.

“Iya gadis cantik. Aku bertanya padamu. Apakah kau mencari perempuan dalam lukisan yang kau tenteng-tenteng itu?”

Oh. Ternyata dia memang bicara padaku. Aku menggangguk kecil.

“Iya Bu, saya mencarinya. Apa Ibu pernah melihatnya?”

Ibu. Iya. Aku memanggil Ibu lantaran usianya. Karena perawakannya. Dan karena tatapan matanya. Tapi, bila memang iya seorang ibu di mana rumahnya? Mana anaknya? Kenapa ia, yang kusapa sebagai Ibu, duduk bersimpuh di alun-alun kota.

Perempuan itu segera memecah hening. Iya cekikikan lagi. Lalu berkata seraya melihat ke arahku.

“Sudah lama aku di kota ini. Sudah sering aku menemukan orang mencari-cari gadis cantik seperti lukisan yang kau bawa. Mereka biasanya datang dengan perawakan yang berbeda.”

Mereka. Aku coba mencerna kata-kata Ibu itu. Aku sama sekali belum menemukan arah pembicaraan perempuan dengan baju kumal yang kini kupanggil ibu.

“Iya mereka. Para lelaki itu. Mereka selalu mencari perempuan dengan gestur yang kau lukis. Tinggi, rambut sebahu, dengan buah dada yang berisi.”

Ibu itu melanjutkan kata-kata tanpa diminta. Ada tekanan dalam nada bicaranya.

“Dulu ketika aku seumuran perempuan dalam lukisan itu, aku juga selalu dicari. Kemana pun aku pergi selalu ada yang mengikuti. Mereka para lelaki, tak akan pernah membiarkan perempuan seperti itu sendiri.”

Ya. Ibu itu benar. Itulah yang menjadi pangkal sehingga dia pergi. Perempuan yang aku lukis ini tak betah tinggal di kota asalnya. Di bawah tatapan tajam para lelaki. Ia memilih pergi. Raib. Hilang dari pandangan sebelum gunjingan warga semakin menghujamnya.

“Apa Ibu pernah melihatnya?”

Aku kembali pada pokok persoalan. Dia, perempuan dalam lukisan ini harus segera kutemukan.

Perempuan paruh baya itu tak menjawab. Ia malah terkekeh. Lalu melanjutkan ocehan.

“Tak perlu kau cari. Dia memang sudah ditakdirkan begitu. Besar, lalu dipetik, dan menghilang. Kelak bila nanti ia telah tua sepertiku, ia akan muncul sendiri di jalanan. Ketika tak ada lagi lelaki yang bersedia memakainya. Menyimpan mereka di balik tembok-tembok sutra, ketika…”

Ibu itu masih terus mengoceh. Tapi aku sedang tak ingin mendengar. Aku sedang tak ingin berbagi waktu dengan perempuan itu, atau dengan siapapun yang ingin menghalangi misiku. Diam-diam, kutarik langkah perlahan meninggalkannya.

Belum beberapa langkah kuseret kakiku, perempuan itu meneriakkan sesuatu.

“Siapa perempuan yang kau cari itu,” ujar Ibu itu dengan suara setengah memaksa.

“Maryam! Aku sedang mencari perempuan bernama Maryam,”

“Siapa dia? Kenapa kau mencarinya di sini. Di kota pelajar ini?”

sumber : hotelmurah2016.com
sumber : hotelmurah2016.com

Pertanyaan itu. Siapa dia? Ah. Dia memang bukan siapa-siapa bagiku. Bukan teman, bukan pula kerabat. Bahkan aku belum pernah bertemu dengannya. Maksudku, kami belum pernah bertemu di kehidupan nyata.

Lalu kenapa aku mencarinya? Dan di kota ini? Kenapa kakiku menyeret datang ke kota ini. Apakah Maryam benar-benar di sini.

Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dalam pikiran. Berpacu dengan derap langkah yang terus meninggalkan perempuan paruh baya itu tanpa meninggalkan satu jawaban pun. Sudahlah, bukankah aku datang ke kota ini bukan untuk meladeni perempuan itu. Bukankah aku ke sini untuk mencari Maryam.

Kini aku kembali ke jalanan Malioboro.  Rupa Malioboro kini sudah jauh berbeda dengan sepuluh tahun lalu, saat aku pertama ke sini. Ketika aku belum mengenal Maryam tentu saja. Di sini ,dulu ada Pak Rahmat, pedagang baju kaos Dagadu. Kini jalanan ini dihuni toko-toko retail kelas besar, beberapa toko makanan dan kedai kopi modern.

Ketika aku berdiri di dekat lampu jalan tiba-tiba pandanganku bersirobok dengan jam besar yang terpampang di salah satu toko. Tuhan! Ternyata ini sudah jam 7 malam. Rasanya tak mungkin lagi pencarian dilanjutkan. Sementara aku juga tak punya petunjuk jelas di mana Maryam berada. Kecuali. Kecuali selembar kertas berisi lukisan sketsa wajah Maryam dan ini.

Secarik surat digital yang sudah kuprint pada kertas A4.

“Baiklah. Malam ini aku akan menginap saja di sini, di kota ini,” batinku.

Ketika keputusan menginap itu dibuat, saat itu juga pikiranku langsung melayang pada aplikasi pemesanan hotel online yang selama ini biasa kugunakan saat bepergian. Travelio.com. Aku suka memasan tiket dan hotel di sini karena lebih murah dan gampang prosesnya.

Memesan hotel di Travelio memungkinkanku  menawar harga yang tertera. Apalagi aku bisa mengunduh aplikasinya dengan mudah. Mengunduhnya bisa

Secepat kilat tanganku menyambar smartphone dari dalam tas. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke halaman pemesanan.

 

hotel travelio

Di halaman yang tersedia aku tinggal memasukkan kota. Yogyakarta. Lalu muncullah berbagai pilihan hotel yang bisa dipilih.

travelio cara

Setelah itu tinggal tunggu. Tak lama akan kelihatan berapa harga yang disepakati. dan proses pun jadi. Aku pun aman bermalam di Yogyakarta menunggu esok hari untuk melanjutkan pencarian Maryam.

siap travelio

***

Hatiku kini sedikit lega. Setidaknya malam ini aku bisa mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan pencarian esok hari. Kuhirup udara lebih lama. Menikmati suasana malam dari alun-alun kota.

Tiba-tiba pikiranku kembali melayang pada pertemuan dengan Ibu paruh baya siang tadi. Pertanyaannya kembali mengejarku. Siapa gadis dalam lukisan ini. Kenapa aku mencarinya. Di kota ini.

Ah Maryam. Engkau memang bukan adikku, saudaraku. Bahkan seperti tadi sudah kukatakan, kita bahkan belum pernah bertemu. Tapi tahukah kamu Maryam, kehilanganmu menjadi penting bagiku.

Kau yang tak pernah melihat wajahku mungkin akan berkata, “Sudah, hentikan saja pencarian.” Tapi tidak. Aku akan mencarimu, agar kau bisa katakan pada semua dengan jelas apa yang ada di hatimu.

Pada tetangga, pada penjaga warung, pada Jesaja, pada Bu Lasmina, juga pada Prakoso.

Iya benar, pada Prakoso. Bukankah kau katakan padaku Maryam, kau ingin Prakoso tahu bahwa kau ingin bebas? Kau ingin tak ada lagi laki-laki yang melihatmu sebagai perempuan dengan badan aduhai. Kau ingin semua orang mengenalmu sebagai Maryam. Maryam yang mengerti akan hidup. Maryam yang bisa membaca dan berhitung.

Maryam. Kucari engkau sampai dapat, agar kamu, aku, dan perempuan lain tak lagi dipandang sebelah mata. Agar kau bisa mengatakan dengan lantang bahwa kita perempuan bukanlah objek.

Tahukah kamu Maryam, kenapa aku mencarimu. Karena hanya kamu yang akan didengar. Karena kau adalah Maryam.

Lalu kenapa aku mencarimu di sini. Di kota pelajar ini? Maryam, kamu tentu tahu jawabnya. Suratmulah yang membawaku ke sini. Sebuah pesan yang kau sematkan dalam halaman blogku. Sesaat sebelum orang tak dikenal itu masuk ke rumahmu. Sebelum Prakoso mendobrak ruang pribadimu.

Kuraih tas yang tadi tergeletak begitu saja di tanah. Persis di kaki bangku taman. Lalu kuraih selembar kertas yang terselip di sela buku yang kau kirimkan padaku. Buku bersampul Hilangnya Maryam dengan wajah-wajah perempuan di atasnya.

Untuk Sahabatku DuniaBiza.com

 Halo Mba DuniaBiza. Kita memang tak pernah bertemu. Saya hanya mengikuti sepak terjang Mba dari tulisan-tulisan di blog ini. Saya merasa ada gelombang yang mempertemukan kita. Saya merasa dekat.

Mba, mungkin tak tahu bagaimana hidup yang saya jalani. Masa lalu saya, dan bagaimana orang-orang di kehidupan sekarang memandang saya. Dan Prakoso. Lelaki itu, saya tahu dia baik. Tapi saya tak mau hidup dalam belas kasih.

Mba. Saya menulis pesan ini karena saya ingin suatu saat Mba membantu saya, lewat tulisan-tulisan Mba yang selalu bernyawa. Mengabarkan pada dunia bahwa wanita, tidak hanya saya, semestinya merdeka. Dihargai karena mindanya, pengetahuannya. Bukan karena tubuh. Karena kita, sama-sama hidup di bumi yang setara.

Saya juga ingin Mba menyampaikan pada seluruh perempuan, agar memperkaya diri dengan bahasa, dengan logika. Dan satu-satunya cara adalah dengan pengetahuan. Menjadi terdidik agar bisa mendidik.

Bila suatu saat saya bisa memilih kehidupan, saya ingin terlahir di kota yang bisa mempertemukan saya dengan Ki Hajar Dewantara. Di kota yang di tanahnya berdiri rumah-rumah membaca, sekolah yang setara antara pria dan wanita. Di kota bernama Yogyakarta.

Salam,

Maryam

 

11 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *