[Cerpen] Ujian untuk Puan

288H

Hari belum terlalu petang. Puan menggesa langkah menuju rumah. Terik matahari yang tak mau mengalah memaksa Puan segera berlabuh di rumah.

Beruntung, jarak sekolah dengan rumahnya tidaklah  jauh. Paling lama lima menit ia sudah sampai di rumah kecil yang disewa dari salah seorang penduduk.

Dua minggu terakhir cuaca memang janggal. Sebentar hujan, sebentar panas. Bila hujan, anginnya meraung-raung hilir mudik. Membanting-banting benda apapun yang menjulang tinggi.

Bila mengamuk, ia akan mengeluarkan kilat dan petir, menyambar-nyambar. Bila panas, sinarnya membakar para penantang. Menusuk-nusuk kulit sesiapa yang tidak mau menghindar dan berlindung. Di bawah terik matahari dengan suhu 31 derajat itulah Puan melangkah.

Ukh…

Akhirnya sampai juga Puan di rumah. Berjalan di bawah amuk mentari, membuat Puan serasa baru menempuh perjalanan yang jauh. Jauuuh sekali. Apalagi penat dan letih ikut pula membebani. Bukan. Penat itu bukan penat karena berjalan. Tetapi Penat yang menghujam jauh di dasar sanubarinya.

Bagaimana mungkin Puan tidak penat. Empat tahun kuliah dan menempuh pendidikan, membentuk ideologi digembleng di bawah sederet kode etik profesinalisme menjadi seorang pendidik lenyap dalam sekejap. Hanya dalam dua setengah jam yang melelahkan.

Bertahun-tahun Puan berjuang mendapatkan gelar sarjana pendidikan, berpuluh-puluh nilai A menganga di transkrip nilai, luruh seketika. Hanya demi sebuah prestise. Kamuflase yang usang.

***

Suasana rapat tiba-tiba gemuruh. Guru-guru yang semula terpaku mendengarkan ceramah Pak Kepala Sekolah mendadak sibuk berbisik-bisik kiri dan kanan. Ibu berbadan gemuk yang duduk di baris nomor dua, tiba-tiba menyikut ibu guru berkacamata di sebelahnya. Lalu mereka melempar pandang disusul sesungging senyum penuh makna, tanpa kata-kata.

Di posisi tengah meja paling depan seorang guru muda hanya berdiam. Wajahnya yang anggun dalam balutan blezer warna kuning khas pegawai negeri sipil hilang dalam tekukan muka yang buram. Tangannya sibuk mengoret-ngoret notes kecil yang selalu ia bawa. Notes itu diperoleh dari sebuah seminar, dengan gambar pahlawan di sampulnya.

Tak terlalu jelas apa yang ditulis ibu muda itu. Kadang-kadang garis lurus, melengkung, lalu lurus lagi. Entah mengapa dia begitu. Bisa saja dia memang suka menggambar. Atau mungkin dia sedang gundah. Gundah mendengar petuah dari si Pak Kepala Sekolah.

Pak guru yang duduk paling belakang agaknya lebih berani dari si Ibu Gemuk dan Ibu Muda di bangku paling depan. Ia kemudian membuat suara-suara gaduh. Lalu menceracau dengan kata-kata yang tak begitu jelas.

Tak lama ia berdiri. Mengancungkan tangan dan bersuara tanpa ada yang mempersilakan. Ia langsung saja bicara. “Pak Usman. Apa ini sudah jadi keputusan akhir?” ujarnya dengan nada penuh amarah.

Orang yang dipanggil Usman tak segera menjawab. Untuk beberapa saat ia diam saja. Menunduk, berdehem lalu menunduk lagi. Sepertinya ia juga tak kalah gundah.

Beban berat yang ia tanggung sebagai Kepala Sekolah membuat posisinya semakin berat. Lalu seperti mendapat kekuatan, ia mengangkat muka. Mata yang merah menyala, disertai pula dengan kerut di kening yang menganga.

“Ya. Ini sudah keputusan. Tahun lalu ada sepuluh siswa yang tidak lulus dari sekolah kita. Dan itu sudah cukup untuk mencoreng nama sekolah ini. Tahun ini hal itu tidak boleh terjadi. Untuk itu saya harap kerjasama dan keikhlasan Bapak-bapak dan Ibu-ibu semua. Ini demi sekolah kita. Kita harus selamatkan sekolah!”

Diam. Suasana hening. Kali ini tak satupun reaksi yang ditunjukkan guru-guru yang duduk berjejer. Hening. Tak ada sahutan. Mereka larut dalam pikiran masing-masing.

Si Ibu Guru muda yang tadi sibuk mencoret kertas juga ikut diam. Tak ada lagi coretan, tak ada lagi lingkaran. Ia kemudian menatap lurus ke arah Pak Usman. Bahkan terlalu lurus hingga jauh menembus ubun-ubun lelaki paruh baya itu. Beruntung yang diperhatikan tidak melihat.

Tak lama setelah keheningan itu, rapat usai. Tetapi tidak untuk Guru Muda yang duduk paling depan. Sesaat begitu rapat ditutup, ia diminta menemui Pak Usman ke ruang kerjanya.

Dengan langkah berat, ia menyusur lorong menuju ruang yang tidak begitu luas. Tepat di pintu yang dibiarkan terbuka itu ia Pak Usman duduk di balik meja kerjanya yang berantakan.

“Oh Bu Puan Hayati. Silahkan Bu,” lelaki itu mempersilakan masuk. Sembari memberikan waktu ibu muda itu memperbaiki duduknya, Pak Usman membereskan buku yang berserakan di meja.

Wajah lelaki itu mulai berubah. Matanya tak lagi semerah ketika dia duduk memimpin rapat. Raut mukanya tak lagi kusut. Tapi yang tak berubah darinya, adalah kerutan yang hinggap di keningnya. Kerutan itu begitu dalam. Sedalam beban yang dari tahun ke tahun terus menghimpit. Beban yang setiap tahun menjerambabkannya dalam rasa bersalah.

“Begini Bu Puan,” lelaki itu memecah kesunyian. Ibu Muda yang dipanggil Puan masih diam. Ia coba menerka apa yang akan dibicarakan. Dari gelagat yang ditunjukkan lelaki itu, ia paham pembicaraan tidak akan jauh dari strategi untuk menyelamatkan sekolah, sepeti yang dibahas dalam rapat majelis guru tadi.

“Ada apa Pak?” tanyanya kemudian.

“Begini, tahun lalu sekolah agak kurang berhasil dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Ibu kan tahu, rata-rata mereka tidak lulus karena nilai matematika mereka terlampau rendah. Jadi sekolah ini benar-benar membutuhkan bantuan Ibu. Apalagi Ibu adalah satu-satunya guru bidang studi matematika di sini. Kami beruntung karena ibu ditempatkan di sekolah kami,” ujarnya datar.

Puan terdiam. Ternyata benar, pembicaraan di ruang dua kali dua meter itu ada hubungannya dengan Ujian Nasional. Tidak sulit baginya untuk mengetahui apa yang diinginkan Pak Usman. Tetapi yang sulit ia pahami, mengapa ia harus terjebak dalam kenyataan pahit agar bisa menaikkan pamor sekolah.

“Ah. Menyelamatkan Sekolah!” batin Puan seraya mengutuk dirinya yang tak bisa menghindar. Bagaimanapun juga sebagai guru baru, ia tak berani menolak. Salah-salah bisa saja kepala sekolah merekomendasikan agar SK pengangkatan PNS Puan dicabut.

Pak Usman tak mau membiarkan Puan mengumpulkan semua kekuatannya untuk menolak. Ia terus mencecar Puan dengan ketakutan-ketakutan dan rasa iba yang dibuat-buat.

“Ibu Puan kan tahu. Kita di sini sebenarnya tidak mau berbuat ini. Tetapi jika harus memperturutkan kemauan Jakarta yang memberi anak-anak didik kita dengan soal setinggi langit hanya akan merugikan anak-anak kita. Mana mungkin anak-anak di sekolah yang jauh di pelosok negeri seperti sekolah kita ini mengerjakan soal-soal yang dirancang untuk anak kota itu,” kejarnya.

“Tapi Pak, saya….”

Belum siap Puan berkilah, Pak Usman langsung memotongnya.

“Ibu Puan. Kasihanilah anak-anak di sini. Mereka hanya anak nelayan dan anak penyadap karet. Anak-anak disini sekolah tidak untuk ijazah, mereka hanya ingin pandai membaca dan berhitung supaya tidak tertipu kalau berdagang. Menjual ikan-ikan di pasar, memborongkan karet dengan harga yang pantas. Mereka mau bersekolah saja, itu sudah menyenangkan bagi kita.

Coba Ibu bayangkan jika mereka harus sekolah setahun lagi. Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan orang tua mereka. Kasihan adik-adik mereka yang terpaksa mengalah dan bersabar agar bisa disekolahkan.

Puan tak kuasa menjawab. Pengalaman hampir setahun tinggal di kampung ini membuat ia tak sanggup berkata sepatahpun. Bahkan untuk mengatakan tidak. Lama Puan terdiam. Kemudian dengan lirih menjawab, “Baiklah Pak. Akan saya usahakan.” Puan bangkit, dan berlalu meninggalkan ruang Kepala Sekolah.

Bermalam-malam Puan tak bisa tidur. Perasaan bersalah terus menghantui tidurnya. Hatinya berontak. Ia tidak mau melakukan tindakan yang selama ini dipercayainya sebagai tidak professional. Pantang.

Puan benar-benar bimbang. Kini ia harus berhadapan dengan pilihan yang berat. Tidak berat sebenarnya jika Puan mau tegas, Tetapi bagaimana mungkin ia tidak mau melakukan. Bagimana mungkin ia tega membiarkan siswanya tidak lulus dan harus mengulang. Pesan kepala sekolah telah mengaduk-aduk pikiran. Mengaduk rasa iba dan profesionalitasnya.

***

Seminggu sudah berlalu. Dan hari yang paling ditakutkan Puan lewat sudah. Hari pengkhiatan. Hari-hari neraka.

Suatu pagi, empat hari setelah ia dipanggil kepala sekolah. Tepatnya ketika ujian nasional bidang studi matematika berlangsung. Puan berangkat pagi-pagi dari rumahnya. Maksud hati hendak melihat siswanya yang ujian.

Ternyata hal yang ia takutkan terjadi juga. Begitu sampai di sekolah ia sudah diserudukkan dalam gudang di samping WC sekolah. Di ruang gelap itulah ia disodorkan sederet soal matematika. Keringatnya menetes, membuat blezer PNS yang belum genap setahun ia pakai basah.

Tidak. Blezer itu basah tidak hanya oleh keringat yang menetes. Lihatlah di sudut mata Puan. Bagaimana mungkin ia bisa menyembunyikan tetesan air mata yang bersarang di sana. Bulir-bulir bening itu telah menetes. Jatuh membasahi baju.

Tangan Puan menjadi kaku. Soal yang tidak terlalu sulit menjadi seribu kali sulitnya hari itu. Bersusah payah Puan mencoba menyelesaikan. “Tuhan, maafkanlah Aku,” batinnya.

Dengan perasaan kelu, sederetan soal neraka itu selesai. Diam-diam ia meletakkan secarik kertas itu di atas ventilasi WC. Lalu sesuai skenario ia merapikan lagi bajunya, menambah bedak, berputar dari belakang sekolah, lalu melenggang masuk dari gerbang depan sekolah seolah-olah ia baru saja sampai di sekolah.

Begitu sampai di depan ruang majelis guru Puan bersua dengan dua orang berpakaian dinas. Baru akan mendekat dan menyapa orang itu, tiba-tiba seorang pegawai tata usaha menyapa Puan dengan janggal.

“Eh Bu Puan. Baru sampai ya Bu. Duh enaknya jadi guru baru, tidak ikut mengawas ujian. Jadi bisa datang agak terlambat,” ujarnya seraya mengerling ke arah Puan. Puan mengira-ngira arti kerlingan itu. Dengan cepat ia menyimpulkan, ini bagian lain dari skenario menyelamatkan sekolah itu.

“Eh, anu.. Iya Bu.” Jawab Puan singkat. Lalu iya membuang senyum ke arah dua orang berbaju dinas yang belakangan ia tahu kedua orang berbaju dinas itu adalah pengawas yang ditugaskan dinas pendidikan untuk memantau pelaksanaan Ujian Nasional. Puan pun berlalu. Melangkah berat menuju meja piket.

Di toilet sekolah, tanpa sepengetahuan Puan silih berganti siswa dari masing-masing kelas masuk ke toilet. Mereka datang tidak dengan tangan kosong, tetapi dengan secarik kertas dan pena. Begitu masuk, tangan mereka meraba ventilasi, mengapai kertas, lalu memindahkan isinya ke secarik kertas. Begitu terus bergantian sapai ujian selesai.

Sementara di tempat duduknya Puan tertunduk kecut. Tak lama ia menyeka matanya dan berusaha untuk terlihat wajar. Dia edarkan pandangan berkeliling. Ke kiri, ke kanan, dan ke depan.

Ya di sana, di depan ruang guru itu. Mata Puan menangkap sesimpul senyum. Senyum Ki Hajar Dewantara. Senyum yang hangat. Tetapi bagi Puan senyum itu kini tidak lagi hangat. Menyisakan sepotong senyum getir penuh ejekan.**

22 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *